Jumat, 30 Oktober 2009

POLA SOGOKAN SOSIAL DI BALIK RENCANA PENGELOLAAN TAMBANG EMAS DI MOUTONG -------------------------------------------------------

Oleh: ANDIKA

Realitas pertambangan di Sulawesi Tengah kian semerawut dalam berbagai pola sogokan sosial. Masyarakat selalu ditiupkan angin surga dengan berbagai program sosial seperti yang dijalankan oleh PT.Kemilau Nusantara Utama di Moutong. Hal itu dianggap sebagai kompensasi eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang sebetulnya secara nilai ekonomi sangat tidak ber-imbang. Anehnya, Pemerintah selalu menjadi garda terdepan dalam mendorong suksesnya projek yang tidak hanya merugikan rakyat, tetapi daerah dan bangsa secara umum.

Di Parigi Moutong eksploitasi SDA kategori mineral emas, melalui PT. Kemilau Nusantara Utama rencananya akan mengeksploitasi deposit emas pada gunung Tagena luas konsesi sebesar 80 hektare. Proyek penambangan ini berada di dua kecamatan yakni kecamatan Moutong dan kecamatan Taopa. Perusahaan yang dimotori langsung oleh seorang investor berkebangsaan korea tersebut, menggandeng politisi handal Partai Golkar yang juga Tokoh nasional Marwa Daud Ibrahim. Pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Moutong yang di fasilitasi langsung oleh Wakil Bupati, dihadiri sejumlah petinggi TNI dan Polisi di Kabupaten Parigi Moutong. Dalam Sosialisasi tersebut gambaran tentang masa depan masyarakat pasca dan berlangsungnya praktek penambangan ini dengan ragam sogokan sosial, di sampaikan langsung oleh ibu Prof.Dr. Marwa Daud Ibrahim yang diamini oleh jajaran SKPD Kabupaten Parigi Moutong dibawah pimpinan wakil Bupati Syamsu Rizal.

Sebelum lebih jauh, masyarakat, pemerintah dan unsur pemerhati pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong bagai terhipnotis dan termakan rayuan surga pertambangan. Perlu untuk diketahui bahwa praktek penambangan di Parigi Moutong adalah hal baru, kemungkinan kerugian dan kompensasi yang dihasilkan tidak sesuai keinginan masyarakat;

Pertama, secara tehknis menurut ibu Marwa Daud Ibrahim bahwa praktek penambangan yang akan dilakukan di daerah Moutong ini menggunakan tekonologi modern yang tidak menggunakan air, senyawa kimia dan tidak merubah kondisi alam. Pernyataan semacam itu tentu saja sulit untuk dirasionalisasi secara ilmiah. Sebab dalam praktek pertambangan, secara umum proses esktraksi bahan galian dijalankan lazimnya di dekat permukaan dan juga ada yang terkumpul di bawah permukaan tanah yang relatif agak dalam. Selain itu bahan galian tersebut ada yang keras. Ada yang lunak bahkan setengah kompak. Karena terdesak keperluan bahkan ada galian yang berada di bawah air. Atas dasar cara kerjanya, bahan galian industri biasanya ditambang dengan cara: digali, disemprot dengan pompa bertekanan tinggi, dan disedot dengan pompa hisap.

Berdasarkan tempat kegiatan pertambangan, maka eksploitasi juga dilakukan dengan cara Tambang Terbuka, Tambang Bawah Tanah, dan juga Peledakan. [1] Tambang terbuka, semua kegiatan penambangan dilakukan di permukaan bumi. Pada kegiatan penambangan ini khususnya untuk bahan galian industri disebut sebagai kuari. Berdasarkan atas produk yang dihasilkan, letak dan bentuknya dibagi menjadi kuari tipe sisi bukit, dan kuari tipe lubang galian. [2] Sedangkan tambang bawah tanah, dikenal dengan lubang tikus (atau geophering), yang diterapkan untuk endapan bahan galian industri atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata. Arah penambangan biasanya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang ditambang (Sukandarrumuid, 1999 dalam Gali-gali, 2001).

Sejauh ini praktek pertambangan adalah usaha pemisahan kandungan material yang saling mengikat menggunakan cairan dan senyawa kimia. Apalagi, Pertambangan Emas yang di buka melalui perusahaan sekelas PT. Kemilau Nusantara Utama yang secara nama boleh dikata pendatang baru didunia pertambangan dan tidak sehebat perusahaan raksasa tambang lainnya, yang memiliki standar dan kualifikasi pengelolaan lingkungan. Aspek seperti pengelolaan limbah, pencegahan polusi, dan pencemaran sulit diartikulasikan dalam pertanggung jawaban perusahaan secara lebih luas. Sementara Penggunaan bahan-bahan senyawa kimia berupa, Cairan Merkuri, Sianida, adalah sesuatu yang lazim dalam industry baik skala besar maupun kecil.

Kedua, Dampak kerusakan lingkungan yang paling menonojol akibat dari Eksploitasi SDA adalah perubahan bentang alam secara drastic. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat Moutong mengingat [1] Tambang Emas seluas 80 hektar ini berada di pegunungan Tagena Moutong Timur. [2] Mayoritas masyarakat di daerah ini adalah petani. Tidak adanya sistem irigasi yang memadai telah meciptakan Ketergantungan siklus alam secara massif, hal itu yang menentukan berhasil-tidaknya tanaman pertanian masyarakat di dua kecamatan yakni Moutong dan Taopa. Kondisi ini sudah berlangsung secara turun temurun.

Dalam pertambangan kategori mineral hal lain yang juga menarik adalah penggunaan air. Tambang emas di kenal adalah pertambangan yang paling rakus menggunakan air. Keberadaan pegunungan Tagena jika di lihat, adalah kawasan cadangan suplay air bagi kebutuhan pertanian dan perladangan masyarakat setempat. Kemungkinan rusaknya sistem hidrologi didaerah ini sangat besar di akibatkan dari proses pembabatan hutan, penggalian dan pencemaran akibat polusi pabrik emas. Pada sisi lain wilayah ini sangat rentan dengan banjir, hampir setiap tahun daerah ini di beritakan selalui mendapatkan jatah banjir. Terakhir banjir terjadi pada tanggal 14 May 2009 yang merendam tiga Desa yakni Desa Moutong Barat, Salumpengut, dan Desa Gio (Koran Indonesia, 2009).

Ketiga, nilai ekonomi yang didapatkan dari hasil pertambangan Emas Moutong juga tidak memiliki sandaran jelas. Komposisi kepemilikan saham sepertinya tidak mendapatkan tempat dari proyek pertambangan ini, selain dari pada ketentuan royalty sesuai aturan pertambangan. Jika dilihat dari segi jumlah, komoditisasi Emas ini akan lebih menguntungkan pihak investor ketimbang daerah dan rakyat. Sebab keberadaan PT. Kemilau Nusantara Utama katanya hanya menjanjikan pekerja sebanyak 100 orang bagi penduduk lokal, jumlahnya jauh lebih sedikit di banding jumlah pekerja yang berada pada pertambangan tromol rakyat, di Kelurahan Poboya Palu. Sementara jumlah penduduk di dua kecamatan areal konsesi emas ini, berdasarkan data BPS Parigi Moutong 2008 secara keseluruhan adalah kurang lebih 43.000 jiwa dan mayoritas berprofesi sebagai petani.

Kegamangan juga terlihat jelas, pada saat sosialisasi pemberdayaan masyarakat lingkar tambang yang dilakukan oleh perusahan PT. Kemilau Nusantara Utama, pada tanggal 28 Oktober 2009 Di gedung pertemuan masyarakat Moutong. Juru bicara perusahaan Marwa Daud Ibrahim sulit menjawab pertanyaan masyarakat terkait kualifikasi tenaga kerja. Menurut masyarakat mereka adalah petani dan bagaimana mungkin bisa beradaftasi secara cepat dalam industrialisasi pertambangan tersebut. Kemungkinan arus migrasi tenaga kerja dari luar, akan sangat memungkinkan untuk menggeser keberadaan masyarakat di kecamatan Moutong jika melihat kenyataan tersebut.

Ironisnya, janji kesejahteraan yang di tawarkan oleh perusahaan lebih mengarah pada semangat Corperation Sosial Resposibility (CSR) standar lazim kompensasi perusahaan. Pada umumnya, Hal itu bertujuan untuk menjaga hubungan hak diantara masyarkat dengan penambang agar tetap kelihatan lebih peduli dan manusiawi. Program yang di tawarkan pun tidak lebih jauh lebih maju, dari apa yang sudah dikerjakan masyarakat di Kecamatan Moutong misalnya, pembagian hewan ternak, pembangunan sekolah yang sesungguhnya nilai tukarnya secara ekonomis tidak berimbang dengan deposit emas yang dikeruk serta nilai kerugian jangka panjang yang harus dirasakan masyarakat.

Melihat kenyataan diatas, pertambangan Emas di Moutong sudah harus berubah orientasinya pada posisi yang lebih menguntungkan bagi daerah dan masyarakat. Banyak hal yang bisa dilakukan dari pemanfaatan SDA ini misalnya, [1] pemerintah Parigi Moutong mendorong kepemilikan saham secara mayorotas atas pertambangan ini. Hal itu dilakukan diluar kompensasi tanggung jawab sosial dan lingkungan serta royalty sesuai aturan pertambangan. [2] jika ternyata pertambangan ini sama sekali tidak bisa menjawab problem kesejahteraan seperti yang dijanjikan sebaiknya di tutup saja.
Penulis adalah Koordinator Departemen Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Sulteng)

Sumber :
Indonesia Koran (2009)” Tiga Desa di Kabupaten Parigi Moutong Terendam Banjir”………………
Bulletin Gali gali Volume 3, Nomor 10 Maret 2001 dari Buku berjudul Bahan Galian Industri, karangan Sukandarrumuidi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999………………………………
Sangadji Anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”……….
Sudarmadji, (2007) “Pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup dan otonomi daerah” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies UGM ke-58 PEMBANGUNAN WILAYAH BERBASIS LINGKUNGAN DI INDONESIA di Yogyakarta…………………………………………….

Baiquni, M. dan Susilawardani. (2002)” Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis
Pembangunan Indonesia. ideAs dan TransMedia Global Wacana. Yogya………………………….

Senin, 12 Oktober 2009

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”
A n d i k a
Beberapa bulan terakhir fenomena pertambangan rakyat merebak dimana-mana, hampir semua daerah telah berinisiatif untuk mengolah emasnya. Palu-sigi, Parigi, Buol, luwuk adalah daerah di Sulawesi Tengah yang kelihatan timbul kepermukaan. Anehnya, stigmatisasi juga seiring sejalan dengan pertumbuhan tambang versi rakyat itu. Merusak lingkungan, pencemaran, dan gejolak sosial adalah tuduhan lazim yang menandakan spectrum pemerintah.

Kepemilikan sumber daya alam, Lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi mikro, dan taraf kesejahteraan rakyat sangat kurang diminati dalam diskursus ilmiah, maupun perdebatan terbuka antara rakyat dan pemerintah. Bahkan untuk menguatkan wacana versi pemerintah, berbagai penelitian dilakukan, misalnya dugaan pencemaran hasil test laboratorium oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Hasilnya dugaan pencemaran dari aktifitas tambang tromol yang dilakukan di Kelurahan Poboya semakin menguat. Hal ini pula yang mengembangkan wacana tambang tromol Poboya menjadi sangat liar dan tidak terkendali.

Wacana yang bergulir dari hasil penelitian versi pemerintah, akhirnya telah membawa perhatian kita pada rencana penggusuran tambang poboya (Penertiban) dengan dalih Moratorium. Pertemuan pun dilakukan unsur muspida Provinsi pada tanggal 7-8-9 Oktober 2009 di gedung Gubernuran Provinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan itu membahas beberapa agenda dan tugas dari Tim penertiban yang dibentuk, dengan tujuan melaksanakan tugas penertiban tambang Poboya (Sosialisasi, tatalaksana penertiban).

Sementara tanggal 9 Oktober 2009 pertemuan juga berlangsung di kantor Polda Sulteng antara masyarakat Poboya dengan Kapolda Sulteng. Tujuan pertemuan masyarakat Poboya dan Pihak Polda Sulteng, adalah untuk membahas rencana penertiban aktifitas tambang tromol poboya, dimana Polda Sul-Teng sebagai eksekutor yang mungkin akan dibantu oleh aparat Pamong Praja, dan aparat TNI jika diperlukan dengan biaya operasi sekitar 200 an juta (Jatam Sulteng, Walhi Sulteng, 2009).

Justifikasi Pemerintah untuk mengintervensi aktivitas tambang tromol di Kelurahan Poboya, adalah untuk menghentikan sementara (Moratorium) aktifititas itu. Selain karena alasan lingkungan Hidup, tindakan ini juga adalah upaya menata pengelolaan tambang Poboya secara lebih arif untuk kemaslahatan bersama (Pernyataan Gubernur diruangannya 2009). Alasan itu dalam pandangan sederhana bisa di pahami. Namun lebih jauh dari itu, mungkin penting di lihat dan diketahui masyarakat kota Palu bagaimana konfigurasi politik investasi dan kepentingan dibalik kisruh tambang tromol Poboya. Hal itu penting, agar dalam penertiban ini tidak menempatkan masyarakat poboya sebagai obyek penggusuran tetapi untuk menata pertambangan tromol itu sesuai pernyataan walikota pada aksi massa yang dilakukan penambang tromol (September 2009).

Pertama, Poboya adalah salah satu blok yang dimiliki oleh PT. Bumi Resources melalui anak perusahaannya PT. Palu Citra Mineral (CPM). Dalam Laporan Tahunan 2007, agenda utama dari PT.Bumi Resources adalah segera mempercepat proses eksplorasi dengan perencanaan tahun 2012, untuk segera eksploitasi. Mengingat cadangan emas di Kelurahan Poboya sebesar 2 juta Ons, kedua dari Konsesi emas Bumi lainnya di Negara Yaman. Cadangan emas Poboya sekaligus salah satu pendongkrak nilai saham Bumi (PT.Bumi Resources) di Bursa efek (Pasar penjualan saham).
Peluang investasi dan Jaminan nilai saham memiliki rumus keamanan. semakin banyak tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan didukung secara baik oleh pemerintah, maka sudah pasti lembaran-lembaran saham itu akan mengalami peningkatan. Itu bisa dibuktikan dari sejumlah agenda investasi di Sulawesi Tengah yang seiring sejalan dengan proyek pembangunan kompi-Kompi militer dan kepolisian (Lihat, Lian Gogali 2006).

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding PT.Bumi Resources dalam upaya penertiban pemerintah terhadap tambang tromol Poboya. Hanya sekedar mengingatkan pemerintah jangan sampai langkah penertiban bukan untuk kepentingan penataan tambang tromol versi rakyat, tetapi justru untuk memuluskan agenda PT. Bumi Resources. Dugaan ini patut untuk dilihat lebih mendalam mengingat ada kemiripan pernyataan antara Gubernur dan Walikota Palu. Mereka sering sekali mengungkapkan bahwa sebelum penataan tambang dilakukan, kita moratorium dulu sembari meminta izin pada PT.Bumi Resouces selaku pemilik Kontrak Karya (Pernyataan di kantor Gubernur, dan pernyataan walikota pada Worksop tambang KP. Nelayan). Pernyataan ini menggambarkan bagaimana sikap ketergantungan pemerintah terhadap ketidakberdayaannya, untuk menyatakan sikap secara politik atas penegasan kepemilikan emas Poboya. Sehingga Moratorium ini Kemungkinan untuk di injeksi (di tunggangi) oleh kepentingan Bumi, sangat memungkinkan.

Kedua, penertiban ini juga penting dilihat dalam segala kemungkinan timbulnya praktek kekerasan. Pengerahan aparat keamanan untuk menertibkan tambang tromol Poboya kemungkinan bisa diterjemahkan berbeda oleh masyarakat Poboya maupun penambang lainnya. Pengalaman dari berbagai praktek penggusuran, karena kurangnya sosialisasi dan negosiasi yang seimbang memungkinkan timbulnya gesekan antara aparat keamanan dan masyarakat.

Kebiasaan heroisme dari oknum kepolisian acap kali menimbulkan rasa tidak simpati oleh masyarakat, dalih seperti tindakan persuasive dan preventif biasanya sulit juga diartikan oleh oknum aparat keamanan sendiri, apalagi kalau misalnya melibatkan pamong praja, yang secara protaf tidak sehebat disiplin Kepolisian. Bisa dilihat dari penggusuran yang dilakukan di berbagai tempat, acap kali kelihatan keganasan aparat pamong praja.

Penggunaan anggaran sebesar Rp.360 juta untuk biaya penertiban ini dan konon katanya 200 juta untuk biaya operasi yang dilakukan aparat kepolisian bersama jajarannya. Anggaran itu di duga bersumber dari APBNP, bisa jadi akan percuma dan justru berbalik pada situasi yang negative. Pemerintah harus secara arif bekerjasama dengan masyarakat poboya dengan melibatkan partisipasi kesadaran mereka untuk mau menerima tujuan pemerintah, demi jalan kesejahteraan bersama (Kalau memang niatnya untuk kesejahteraan). Penetrasi kepentingan berbagai pihak seperti, tengkulak, cukong, preman, dan lumpen masyarakat lainnya harus diperhatikan dengan seksama, jangan sampai kepentingan mereka bisa mendominasi, sehingga meruntuhkan semua harapan dan cita-cita masyarakat Poboya secara arif dalam mengelola alamnya.

Ketiga, Dampak Secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Poboya. Moratorium secara istilah adalah jeda aktifitas, dalam konteks poboya moratorium dimaksudkan untuk menghentikan sementara seluruh aktifitas yang terkait dengan penambangan tromol di Kelurahan Poboya. Penghentian itu kemudian akan dilanjutkan kembali dengan penataan sistem pertambangan rakyat, begitu kira-kira gambaran idealnya. Penghentian ini bukan berarti tidak memiliki dampak secara ekonomis terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun pekerja migrasi dari berbagai daerah yang sedang mengais rejeki di Kelurahan Poboya.

Bagi masyarakat Poboya, bertambang adalah jalan ekonomi yang sanggup meningkatkan taraf hidup mereka, meskipun dalam hubungan produksi sebagian besar hanya sebagai pekerja. Mereka mengais rejeki di balik megahnya bangunan tromol dan desingan riuh gemuruh tromol sebagai pekerja, karena ternyata kepemilikan tromol di Kelurahan Poboya lebih dominan pemodal-pemodal kecil (Cukong-cukong) ketimbang masyarakat poboya. Hal itu bisa dilihat dari komposisi kepemilikan tromol, dimana hanya tiga keluarga Poboya yang memiliki tromol (Penggunaan kata keluarga hanya untuk memudahkan penyebutan) [1] Keluarga Ali Jalaludin (Ketua Adat) [2] Keluarga Bapak Isra [3] Keluarga Janggola (Rumpun Keluarga Bupati Parigi Moutong “Longky Janggola”).

Dapat dibayangkan jika penghentian tambang ini (Moratorium) berlangsung lama. Sudah secara otomatis akan sangat menyulitkan perekonomian masyarakat Poboya. Mengapa demikian? Perubahan besar secara radikal dari bertani menjadi pekerja tambang adalah konsekwensi pada perubahan basis produksi. Masyarakat poboya sudah meninggalkan corak pertanian sekitar 9 bulanan yang lalu dan serta merta melibatkan dirinya dalam pergumulan tromol. Hal lain adalah kondisi kekeringan dan lahan yang realif tandus akan menyulitkan mereka untuk mengolah kembali tanah pertanian untuk kebutuhan temporer (menunggu Moratorium). Belum lagi sebaran mesin-mesin tromol yang tidak kenal medan, tentu saja akan menganggu kondisi permukaan tanah.

Memperhatikan hal ini, pemerintah tidak bisa tegesa-gesa dalam melaksanakan kebijakan Moratorium. Apalagi pengerahan aparat keamanan di tengah ketergantungan ekonomi yang tinggi, hal ini akan membuat masyarakat Poboya mengalami penyempitan hak dalam pergaulan tanggung jawab pemerintah, yang dari awal tidak mengintervensi aktifitas tambang ini. Hitungan-hitungan terhadap berbagai resiko yang terjadi pasca moratorium tidak bisa diukur dengan intervensi tekhnis sebagaimana yang terjadi pada masyarakat translok di Lembah Lore Lindu (Lihat, Tania M li). Kepastian terhadap basis produksi mereka adalah jawaban tunggal terhadap kepentingan semua tujuan Moratorium ini, dan tambang tromol versi rakyat adalah suara mayoritas.
Untuk itu pemerintah dan siapa pun pihak yang terlibat dalam upaya moratorium ini harus kembali pada hak-hak mendasar yang di miliki oleh masyarakat poboya. Intervensi pemerintah harus mendorong pada perbaikan taraf kesejahteraan rakyat misalnya pengakuan atau Izin, acces bantuan modal tromol untuk kepentingan bersama (tambang kolektif dan menghapuskan tengkulakisme), peningkatan kapasitas secara tekhnis para penambang, dan memberikan gambaran letak kebijakan yang secara arif untuk keadilan bersama dalam pengelolaan sumber daya alam karunia sang pencipta.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah ----------

Sumber:
Li M Tania, (2008) “Will To Improve”.---------------------------------
Gogali lian, (2006)”Marmer,Migas, dan Militer di ketiak Sulawesi Timur” antara kedaulatan rakyat dan pemodal” Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka Palu.---------
Sangadji anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”
Alkhairaat media, (2009)
Andika,(2009)”Pemerintah, dalam penegasan Kepemilikan emas Poboya”Media Alkhairaat.