Senin, 30 November 2009

POLITIK dan Perlawanan, Cintanya Seperti Belatung

Oleh: Andika
Pada mulanya semua nampak indah dan indah. Kami selalu mengedepankan kejujuran dalam memulai segala hal. Hampir tidak pernah ada petunjuk yang bisa mendorongku untuk memeluk kekecewaan, yang kurasakan sejauh ini, dialah tujuan diatas mimpi-mimpiku. Tapi sayang, perkabungan harapan serta merta menyerangku secara tiba-tiba. Suasana menjadi genting oleh bayang-bayang tingkah lakunya yang semerbak wangi kesturi, selembut sutra prabu, yang kalau diam menenggelamkan matahari. Masih teringat dengan jelas, pengakuannya. Dia, Si Senge yang sangat tertarik dengan warna hijau dan kadang-kadang membanggakan Nasi bamboo, sebuah masakan khas daerah Sulawesi. Dia pernah bercerita menikmati permainan kamar bersama Sabir seorang pria keturunan Jawa yang bapaknya adalah seorang pemimpin aliran kepercayaan yang cukup besar di tanah Jawa. Mereka bersilah kasih dalam harmoni hubungan yang kupercaya.
Deretan bangku di sudut Halte, Jalan Monginsidi adalah tempat pertama kali kami berjumpa. Senyum pesona dengan lidah yang sedikit menggigil, menancap dalam rasa percaya diriku. Saat itu harus kuakui bahwa dirinya benar-benar telah menyuntik dadaku dengan “kihdi sapi” sebuah penamaan terhadap jamur oleh masyarakat di Salah satu kampung di Sulawesi Selatan, rasanya begitu nikmat dan tidak terkira oleh logika. Perlahan-perlahan ku mulai berjalan dengan gerak yang sangat berhati-hati, tanpa berkilah ujung jari-jariku mengayun tanpa malu, aku mengajaknya berkenalan.
Namun, niscaya prasangka jadi kenyataan. Harapanku ternyata tidak seindah yang selama ini kupikirkan, Si Senge ternyata mirip seorang pemain Bola Liga Nasional Indonesia Hamka Hamsa, yang bisa berada di Posisi penyerang dan gelandang bertahan. Peluang-peluang kian terbuka, jejaring jejaring demi jejaring semakin luas. Kipranya kian tak tertandingi, semua dimensi telah menyatu dalam bakat yang dimilikinya meskipun, dia sendiri tidak terlalu percaya dengan bakat.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, saat itu hatiku tak lepas lelah mengulas dan mengkategorikan bagian-bagian dari tubuhnya yang nampak Indah. Sesekali khayalanku tertuju pada lesung pipihnya. Menurutku, itulah bagian yang paling menarik darinya, kadang-kadang matanya yang tajam tidak ketinggalan mengusik rasa ngantuk. Langit-langit kamarku pada saat itu, enggan menutup diri, seakan-akan ingin mengintegrasikan diri dalam asmaraku. Kiamat 2012, Janji Tuhan seolah-olah telah terkabul dalam Film ini. Meskipun adegan-adegannya sedikit kasar dan mengada-ada, namun akhirnya malam itu mataku bisa tertutup olehnya, mungkin karena lelah.
Seperti pula dalam cerita-cerita kuno, emansipasi kunyuk telah terintegrasi dalam logika irasional, tanpa makna. Dia bersikap melucuti kebenaran dengan menari diatas dua perasaan yang sedih karena bangga padanya. Poligami-Poliandri, dia katakan kamu mau jadi aku, penyederhaan itu seakan-akan membenarkan bahwa manusia tidak lebih dari pada wacana satu pasangan atau lebih. Telah sampai padanya kekuasaan diri, berkecamuk dalam kebebasan. Beriktiar dalam ambisi sekali-kali pelariannya, mendapat restu dari dua mantan kekasihnya. Mereka masih berfungsi menambal pikiran-pikirannya, sese-kali janji saling bernikmat, kadang-kadang terlontar dalam cakapnya.