Senin, 12 Oktober 2009

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”
A n d i k a
Beberapa bulan terakhir fenomena pertambangan rakyat merebak dimana-mana, hampir semua daerah telah berinisiatif untuk mengolah emasnya. Palu-sigi, Parigi, Buol, luwuk adalah daerah di Sulawesi Tengah yang kelihatan timbul kepermukaan. Anehnya, stigmatisasi juga seiring sejalan dengan pertumbuhan tambang versi rakyat itu. Merusak lingkungan, pencemaran, dan gejolak sosial adalah tuduhan lazim yang menandakan spectrum pemerintah.

Kepemilikan sumber daya alam, Lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi mikro, dan taraf kesejahteraan rakyat sangat kurang diminati dalam diskursus ilmiah, maupun perdebatan terbuka antara rakyat dan pemerintah. Bahkan untuk menguatkan wacana versi pemerintah, berbagai penelitian dilakukan, misalnya dugaan pencemaran hasil test laboratorium oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Hasilnya dugaan pencemaran dari aktifitas tambang tromol yang dilakukan di Kelurahan Poboya semakin menguat. Hal ini pula yang mengembangkan wacana tambang tromol Poboya menjadi sangat liar dan tidak terkendali.

Wacana yang bergulir dari hasil penelitian versi pemerintah, akhirnya telah membawa perhatian kita pada rencana penggusuran tambang poboya (Penertiban) dengan dalih Moratorium. Pertemuan pun dilakukan unsur muspida Provinsi pada tanggal 7-8-9 Oktober 2009 di gedung Gubernuran Provinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan itu membahas beberapa agenda dan tugas dari Tim penertiban yang dibentuk, dengan tujuan melaksanakan tugas penertiban tambang Poboya (Sosialisasi, tatalaksana penertiban).

Sementara tanggal 9 Oktober 2009 pertemuan juga berlangsung di kantor Polda Sulteng antara masyarakat Poboya dengan Kapolda Sulteng. Tujuan pertemuan masyarakat Poboya dan Pihak Polda Sulteng, adalah untuk membahas rencana penertiban aktifitas tambang tromol poboya, dimana Polda Sul-Teng sebagai eksekutor yang mungkin akan dibantu oleh aparat Pamong Praja, dan aparat TNI jika diperlukan dengan biaya operasi sekitar 200 an juta (Jatam Sulteng, Walhi Sulteng, 2009).

Justifikasi Pemerintah untuk mengintervensi aktivitas tambang tromol di Kelurahan Poboya, adalah untuk menghentikan sementara (Moratorium) aktifititas itu. Selain karena alasan lingkungan Hidup, tindakan ini juga adalah upaya menata pengelolaan tambang Poboya secara lebih arif untuk kemaslahatan bersama (Pernyataan Gubernur diruangannya 2009). Alasan itu dalam pandangan sederhana bisa di pahami. Namun lebih jauh dari itu, mungkin penting di lihat dan diketahui masyarakat kota Palu bagaimana konfigurasi politik investasi dan kepentingan dibalik kisruh tambang tromol Poboya. Hal itu penting, agar dalam penertiban ini tidak menempatkan masyarakat poboya sebagai obyek penggusuran tetapi untuk menata pertambangan tromol itu sesuai pernyataan walikota pada aksi massa yang dilakukan penambang tromol (September 2009).

Pertama, Poboya adalah salah satu blok yang dimiliki oleh PT. Bumi Resources melalui anak perusahaannya PT. Palu Citra Mineral (CPM). Dalam Laporan Tahunan 2007, agenda utama dari PT.Bumi Resources adalah segera mempercepat proses eksplorasi dengan perencanaan tahun 2012, untuk segera eksploitasi. Mengingat cadangan emas di Kelurahan Poboya sebesar 2 juta Ons, kedua dari Konsesi emas Bumi lainnya di Negara Yaman. Cadangan emas Poboya sekaligus salah satu pendongkrak nilai saham Bumi (PT.Bumi Resources) di Bursa efek (Pasar penjualan saham).
Peluang investasi dan Jaminan nilai saham memiliki rumus keamanan. semakin banyak tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan didukung secara baik oleh pemerintah, maka sudah pasti lembaran-lembaran saham itu akan mengalami peningkatan. Itu bisa dibuktikan dari sejumlah agenda investasi di Sulawesi Tengah yang seiring sejalan dengan proyek pembangunan kompi-Kompi militer dan kepolisian (Lihat, Lian Gogali 2006).

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding PT.Bumi Resources dalam upaya penertiban pemerintah terhadap tambang tromol Poboya. Hanya sekedar mengingatkan pemerintah jangan sampai langkah penertiban bukan untuk kepentingan penataan tambang tromol versi rakyat, tetapi justru untuk memuluskan agenda PT. Bumi Resources. Dugaan ini patut untuk dilihat lebih mendalam mengingat ada kemiripan pernyataan antara Gubernur dan Walikota Palu. Mereka sering sekali mengungkapkan bahwa sebelum penataan tambang dilakukan, kita moratorium dulu sembari meminta izin pada PT.Bumi Resouces selaku pemilik Kontrak Karya (Pernyataan di kantor Gubernur, dan pernyataan walikota pada Worksop tambang KP. Nelayan). Pernyataan ini menggambarkan bagaimana sikap ketergantungan pemerintah terhadap ketidakberdayaannya, untuk menyatakan sikap secara politik atas penegasan kepemilikan emas Poboya. Sehingga Moratorium ini Kemungkinan untuk di injeksi (di tunggangi) oleh kepentingan Bumi, sangat memungkinkan.

Kedua, penertiban ini juga penting dilihat dalam segala kemungkinan timbulnya praktek kekerasan. Pengerahan aparat keamanan untuk menertibkan tambang tromol Poboya kemungkinan bisa diterjemahkan berbeda oleh masyarakat Poboya maupun penambang lainnya. Pengalaman dari berbagai praktek penggusuran, karena kurangnya sosialisasi dan negosiasi yang seimbang memungkinkan timbulnya gesekan antara aparat keamanan dan masyarakat.

Kebiasaan heroisme dari oknum kepolisian acap kali menimbulkan rasa tidak simpati oleh masyarakat, dalih seperti tindakan persuasive dan preventif biasanya sulit juga diartikan oleh oknum aparat keamanan sendiri, apalagi kalau misalnya melibatkan pamong praja, yang secara protaf tidak sehebat disiplin Kepolisian. Bisa dilihat dari penggusuran yang dilakukan di berbagai tempat, acap kali kelihatan keganasan aparat pamong praja.

Penggunaan anggaran sebesar Rp.360 juta untuk biaya penertiban ini dan konon katanya 200 juta untuk biaya operasi yang dilakukan aparat kepolisian bersama jajarannya. Anggaran itu di duga bersumber dari APBNP, bisa jadi akan percuma dan justru berbalik pada situasi yang negative. Pemerintah harus secara arif bekerjasama dengan masyarakat poboya dengan melibatkan partisipasi kesadaran mereka untuk mau menerima tujuan pemerintah, demi jalan kesejahteraan bersama (Kalau memang niatnya untuk kesejahteraan). Penetrasi kepentingan berbagai pihak seperti, tengkulak, cukong, preman, dan lumpen masyarakat lainnya harus diperhatikan dengan seksama, jangan sampai kepentingan mereka bisa mendominasi, sehingga meruntuhkan semua harapan dan cita-cita masyarakat Poboya secara arif dalam mengelola alamnya.

Ketiga, Dampak Secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Poboya. Moratorium secara istilah adalah jeda aktifitas, dalam konteks poboya moratorium dimaksudkan untuk menghentikan sementara seluruh aktifitas yang terkait dengan penambangan tromol di Kelurahan Poboya. Penghentian itu kemudian akan dilanjutkan kembali dengan penataan sistem pertambangan rakyat, begitu kira-kira gambaran idealnya. Penghentian ini bukan berarti tidak memiliki dampak secara ekonomis terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun pekerja migrasi dari berbagai daerah yang sedang mengais rejeki di Kelurahan Poboya.

Bagi masyarakat Poboya, bertambang adalah jalan ekonomi yang sanggup meningkatkan taraf hidup mereka, meskipun dalam hubungan produksi sebagian besar hanya sebagai pekerja. Mereka mengais rejeki di balik megahnya bangunan tromol dan desingan riuh gemuruh tromol sebagai pekerja, karena ternyata kepemilikan tromol di Kelurahan Poboya lebih dominan pemodal-pemodal kecil (Cukong-cukong) ketimbang masyarakat poboya. Hal itu bisa dilihat dari komposisi kepemilikan tromol, dimana hanya tiga keluarga Poboya yang memiliki tromol (Penggunaan kata keluarga hanya untuk memudahkan penyebutan) [1] Keluarga Ali Jalaludin (Ketua Adat) [2] Keluarga Bapak Isra [3] Keluarga Janggola (Rumpun Keluarga Bupati Parigi Moutong “Longky Janggola”).

Dapat dibayangkan jika penghentian tambang ini (Moratorium) berlangsung lama. Sudah secara otomatis akan sangat menyulitkan perekonomian masyarakat Poboya. Mengapa demikian? Perubahan besar secara radikal dari bertani menjadi pekerja tambang adalah konsekwensi pada perubahan basis produksi. Masyarakat poboya sudah meninggalkan corak pertanian sekitar 9 bulanan yang lalu dan serta merta melibatkan dirinya dalam pergumulan tromol. Hal lain adalah kondisi kekeringan dan lahan yang realif tandus akan menyulitkan mereka untuk mengolah kembali tanah pertanian untuk kebutuhan temporer (menunggu Moratorium). Belum lagi sebaran mesin-mesin tromol yang tidak kenal medan, tentu saja akan menganggu kondisi permukaan tanah.

Memperhatikan hal ini, pemerintah tidak bisa tegesa-gesa dalam melaksanakan kebijakan Moratorium. Apalagi pengerahan aparat keamanan di tengah ketergantungan ekonomi yang tinggi, hal ini akan membuat masyarakat Poboya mengalami penyempitan hak dalam pergaulan tanggung jawab pemerintah, yang dari awal tidak mengintervensi aktifitas tambang ini. Hitungan-hitungan terhadap berbagai resiko yang terjadi pasca moratorium tidak bisa diukur dengan intervensi tekhnis sebagaimana yang terjadi pada masyarakat translok di Lembah Lore Lindu (Lihat, Tania M li). Kepastian terhadap basis produksi mereka adalah jawaban tunggal terhadap kepentingan semua tujuan Moratorium ini, dan tambang tromol versi rakyat adalah suara mayoritas.
Untuk itu pemerintah dan siapa pun pihak yang terlibat dalam upaya moratorium ini harus kembali pada hak-hak mendasar yang di miliki oleh masyarakat poboya. Intervensi pemerintah harus mendorong pada perbaikan taraf kesejahteraan rakyat misalnya pengakuan atau Izin, acces bantuan modal tromol untuk kepentingan bersama (tambang kolektif dan menghapuskan tengkulakisme), peningkatan kapasitas secara tekhnis para penambang, dan memberikan gambaran letak kebijakan yang secara arif untuk keadilan bersama dalam pengelolaan sumber daya alam karunia sang pencipta.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah ----------

Sumber:
Li M Tania, (2008) “Will To Improve”.---------------------------------
Gogali lian, (2006)”Marmer,Migas, dan Militer di ketiak Sulawesi Timur” antara kedaulatan rakyat dan pemodal” Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka Palu.---------
Sangadji anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”
Alkhairaat media, (2009)
Andika,(2009)”Pemerintah, dalam penegasan Kepemilikan emas Poboya”Media Alkhairaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar