Senin, 14 September 2009

Pemerintah, Dalam Penegasan Kepemilikan Emas Poboya

Oleh: Andika

Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah melalui kebijakan Gubernur dalam waktu dekat ini akan melakukan penertiban untuk menjedah sementara aktivitas penambangan emas model tromol di kelurahan poboya (Moratorium). Implementasi kebijakan ini akan dilakukan dalam kerangka teknis melalui pembentukan tim penertiban tambang poboya yang dibagi dalam dua tim pertama, Tim lapangan kedua, Tim studi dan sosialisasi penjedahan tambang emas poboya.

Kebijakan ini sendiri adalah sebagai respon cepat atas penambangan emas poboya yang dilakukan oleh masyarakat. Klaim atas pencemaran dan perilaku menambang yang tidak terorganisir dan tertata dengan baik, telah membawa public kepada kesimpulan bahwa aktivitas penambangan poboya berbahaya bagi lingkungan. Sehingga Gubernur Sulawesi Tengah mengambil keputusan melalui proses jajak pendapat seperti worksop tambang yang telah dilakukan oleh pemerintah kota palu bersama sejumlah LSM lingkungan dan hasil tes laboratorium oleh dinas kesehatan provinsi. Memang secara sekilas telah Nampak tergambarkan bahwa sudah saatnya penambangan poboya untuk dihentikan sementara aktivitasnya. Jauh dari semua rencana penertiban tersebut, masyarakat poboya tentunya memiliki segudang harapan dan mimpi kesejahteraan dalam memperlakukan alam yang telah melimpahkan emas ditanah kelahiraannya.

Namun kemampuan itu akan sangat sulit bagi rakyat untuk dieksplorasi, melihat lebih luasnya orang yang terlibat dalam pertambangan poboya. Disamping itu keberadaan pemerintah justru duduk kelihatan bersimpangan dengan kepentingan penguasaan emas. Posisi perusahaan bumi resources tetap dianggap paling berdaulat atas emas poboya berdasarkan kontrak karya. Padahal jauh dari semua kepentingan itu, pemerintah sebetulnya mampu memaksimalkan penguasaan pada posisi rakyat atas dukungan penuh masyarakat sendiri.

Masyarakat Poboya dan Peralihannya

Peralihan masyarakat Poboya dari petani yang memanfaatkan tanah secara bertani untuk kebutuhan hidupnya (subsisten) menjadi masyarakat yang memanfaatkan tanah dengan cara menambang (pekerja tambang tromol) merupakan perkembangan yang penting dilihat oleh semua pihak dengan pikiran yang dialektis. Beragam aktivitas yang timbul dari peluang kerja baru tersebut, mengangkat, membagi peran, hingga arus hilir mudik telah menciptakan relasi ekonomi yang sepertinya berjalan mekanis.
Wacana belakangan yang timbul dipermukaan adalah pencemaran air yang berdampak pada terganggunya sistem aliran air bersih untuk suplai kebutuhan beberapa pemukiman dikota palu. Anehnya, pandangan orang melihat poboya hanya pada aspek tehknisnya. Lebih jauh sebetulnya poboya punya masalah yang rumit selain pada buruknya sistem pengendalian pencemaran lingkungan.

Tanah poboya yang kering dahulu dikenal kesulitan air untuk kebutuhan pertanian kini, telah berubah menjadi daerah sibuk dengan aktivitas ekonomi. Selain mempertontonkan parade Percikan pasir dan batu. Disana terlihat juga aktivitas yang begitu seirama antara hadirnya orang-orang dari berbagai macam tempat dan daerah sebagai pedagang kain, makanan. Kegiatan itu dilakukan disela-sela aktifitas pemahatan batu oleh para pekerja dilubang-lubang. Rantai perdagangan bahkan juga telah masuk hingga ke mesin tromol pengelolaan tambang emas di tanah poboya, para pedagang datang menjajakan aneka makanan dan minuman siap saji kepada para pekerja tambang yang ada di tromol. Hampir tak terlihat sebuah aktivitas yang sia-sia disana, semua orang kelihatan begitu menghargai waktu, layaknya masyarakat pekerja dalam era industrialisasi masa kini. Peran-peran mereka sangat berjalan dinamis dengan pembagian yang kelihatan penuh keteraturan.
Namun apapun alasannya yang jelas masyarakat poboya saat ini secara ekonomi tidak akan bertahan atau kembali dalam model pemanfaatan tanah secara subsisten, karena model pengelolaan tanah yang baru ini sanggup menjawab problem ekonomi mereka. Pandangan rakyat sejauh ini selalu terwakilkan melalui dewan adat. Alasannya, selalu berubah-ubah kadang melalui dewan adat rakyat tidak mengakui keberadaan orang lain di tanah mereka. Tetapi ketika kita lihat di poboya, masyarakatlah yang memfasilitasi para penambang dari luar. Bahkan penginapan mereka menggunakan rumah-rumah warga, tetapi kondisi ini tidak berlaku secara umum karena sangat didasari pada acces pengelolaan dan kepemilikan. Lagi-lagi kelas masyarakat disini berperan menciptakan pola penghasilan yang berbeda. Salah satu contoh bisa dilihat pada tokoh-tokoh adat. Dimana dalam acces kepemilikan dan pengaturan pengelolaan tanah mereka punya kewenangan yang lebih luas dari keseluruhan masyarakat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para cukong-cukong untuk mendekati mereka dalam ikatan kerjasama. Pola yang digunakan sangat professional misalnya, para cukong membangun tromol diatas tanah para tokoh-tokoh adat atau masyarakat dengan mengangkat pemilik tanah sebagai penanggung jawab atau semacamnya. Keseluruhan Penghasilan dari hasil penambangan menjadi milik sepenuhnya pemilik tromol. Penghasilan dari penanggung jawab tadi sejauh informasi yang didapatkan sangat tergantung pada kesepakatan anatara kedua belah pihak. Semua pola itu adalah scenario untuk menegasikan posisi para cukong dari stigmatisasi sebagai lintah darat dan semacamnya, menjadi kelihatan lebih manusiawi dari pandangan luar. Sementara pekerja tehknis untuk penanganan setiap unit tromol dalam 10 turbin pemutar bisa mencapai 5 orang. Dalam kasus poboya semua pekerja ini adalah tenaga tehknis yang diikutkan oleh para pemilik cukong. Alasan yang diberikan pemilik tromol kepada masyarakat bahwa orang poboya masih baru dalam hal ini dan memerlukan orang lain untuk belajar maka untuk sementara waktu yang menangani tromol adalah pekerja dari daerah asal pemilik tromol seperti kota mubagu dan gorontalo dibantu oleh masyarakat (Walhi Sulteng 2009).

Perananan dewan adat sebagai Tokoh masyarakat yang didengarkan telah pula membawa angin keberuntungan bagi diri pribadinya. Dewan adat diberikan legitimasi oleh rakyat untuk melakukan pungutan terhadap aktivitas penambangan. Bahkan memasang pos penjagaan dan plang kewenangan layaknya instruksi dan informasi aturan pemerintah. Tidak hanya itu, kategorisasi model pengutan juga sangat variatif tergantung arah dan tujuan kewenangan seperti kartu masuk lokasi tambang, dibagi dua pertama, kartu untuk jalan-jalan diareal penambangan dan kartu sebagai pekerja tambang. Dampaknya semua pungutan itu jatuh di tangan ke kas adat. dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur di kelurahan poboya, uang hasil pungutan itu kemudian dikelola pengurus adat sistem keadatan yang mereka pahami. Namun karena tidak adanya proses audit hasil pungutan, dan kepada siapa pungutan akan diarahkan membuat semua model pungutan itu dalam perjalannya menjadi kabur. Ketua adat karena kewenangan besar yang diberikan padanya telah pula merubah statusnya mengalahkan pemerintah. Dia berinisiatif mutlak atas semua pungutan dan memberikan denda pada setiap aktivitas yang dianggap tidak sesuai keinginan dewan adat. Akibatnya, secara tidak langsung ketua adat menjadi sangat berkuasa dan bisa dianggap telah menjadi raja kecil baru ditanah poboya atas semua kewenangan yang dimilikinya. Bahkan, disalah satu plang tertulis dilarang membawa perempuan nakal dimana kata-kata ini sangat berbau kriminalisasi terhadap perempuan yang notabene dalam pertambangan poboya sangat minim perannya. Kondisi semacam ini melambangkan ada pihak-pihak yang diuntungkan atas kurangnya keterlibatan pemerintah dalam mengatur pengelolaan tambang rakyat. Semisal keluhan beberapa masyarakat yang merasa hanya sebagai pekerja kasar dengan medan kerja yang sangat beresiko tetapi kemudian pendapatannya tidak sama dengan oleh sebagian masyarakat lainnya. Disamping itu keberadaan orang dari luar telah perlahan-lahan menggeser kendali sebagian masyarakat atas pemanfaatan lahan emas poboya. Kelihatan dari meluasnya lubang-lubang pengambilan material serta pembangunan mesin tromol disepanjang bantaran sungai poboya. Bahkan lahan eks kebun bawang telah dikuasai oleh modal-modal dari luar yang datang membangun tromol dengan pola penyewaan tanah atau yang lazim bagi hasil.

Namun keberadaan masyarakat poboya sendiri Seiring dengan perkembangan arus modal telah pula melahirkan sifat baru dari masyarakat dalam melihat dan memposisikan tanah dalam sistem produksi. Hal ini bisa dibuktikan dari hamparan tanah yang dahulunya menjadi pusat tanaman palawija seperti jagung, bawang, kini telah berganti dengan bangunan menyerupai rumah dan kandang-kandang berisikan mesin-mesin tromol. Disamping itu potensi alam yang relative tandus dengan hanya mengandalkan air dari sisa PDAM untuk kebutuhan bertani tidak menjadikan pendapatan mereka mampu mendatangkan nilai lebih (surflus) dari kebutuhan mereka sehingga pilihan merubah fungsi tanah dan pekerjaan menjadi menambang adalah jalan yang dianggap lebih baik. Sekarang poboya telah menjadi daerah yang menjadi tempat perputaran ekonomi diserbu oleh berbagai macam kepentingan dagang. Eksistensialis mereka dilihat dari komposisi kepemilikan tromol sangat terancam, bahkan sasaran penyingkiran akan lebih dekat diarahkan kepada masyarakat poboya yang telah kehilangan fungsi tanah oleh stigmatisasi masyarakat perkotaan sebagai biang pencemaran.


Melihat kurangnya keterlibatan secara serius pemerintah daerah utamanya pemerintah kota palu menimbulkan pertanyaan besar. Dua hal bisa jadi alasan pertama, kedudukan secara politik dipartai Golkar antara Rusdi Mastura dan Aburizal Bakri (Pemilik PT.Bumi Resources). Meskipun disetiap kesempatan walikota menyampaikan tidak akan meninggikan kepentingan siapa pun atas poboya selain melihat pada aspek pemanfaatan dan lingkungan. Namun dalam pernyataan-pernyataannya di media kerap kali bertentangan antara satu dengan yang lain. Bahkan secara terbuka menyerahkan penataan tambang poboya pada Gubernur Sulawesi Tengah (Media Alkhairaat 2009). Ini mengisayaratkan bahwa seoal-olah pemerintah kota tidak mau terlibat polemic penguasaan sumber daya alam yang kelihatan mulai berhadap-hadapan antara kepentingan rakyat dan pemodal, dimana pemerintah dipaksa berdiri ditengah-tengah untuk kepada siapa dukungannya akan berlabuh.

Kedua, kontestasi politik pemilihan kepala daerah ditingkatan pemerintah Kota dan Gubernur kelihatan turut mewarnai intervensi poboya. Hal itu terlihat dari misalnya pemerintah kadang-kadang mau menerima keberadaan masyarakat melalui model pengeloaan emas usulan dari berbagai pihak termasuk LSM, dan akademisi. Tetapi disatu sisi keresahan dan niat untuk menggusur para penambang juga disampaikan diberbagai kesempatan. Pencitraan dan pembelaan menjadi sesuatu yang masih tetap dibutuhkan untuk kepentingan dukungan. Namun tetap saja posisi perusahaan dianggap pemerintah menjadi mutlak ketika harus dihadapkan pada politik penguasaan rakyat, seperti yang disampaikan Rusdi Mastura saat menjadi salah satu nara sumber di kegiatan worksop tambang emas poboya (agustus 2009) bahwa akan melakukan negosiasi meminta persetujuan pihak perusahaan untuk memberikan sebagian lahan menjadi areal penambangan rakyat, dengan posisi anak dan bapak angkat.

Padahal sudah umum diketahui bahwa perusahaan akan selalu melakukan pendekatan apapun caranya sejauh itu menguntungkan bagi pihak perusahaan bahkan mereka telah memiliki standar pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial seperti CSR (Corporation Sosial Responsibility) (anto sangaji 2009). Keterlibatan pemerintah mendorong pola kolaborasi seperti yang ditunjukan oleh walikota palu rusdi mastura merupakan perilaku lazim pejabat pemerintah. Kemungkinan untuk memberikan sebagian lahan perusahaan bisa saja melihat itu sebagai keuntungan wacana dan perang image, mengingat sepanjang sejarah masuknya perusahaan besar dipoboya dimulai dari PT.Rio Tinto ke new creass hingga ke bumi resources banyak ditentang oleh masyarakat bahkan Gubernur Amuniddin Ponulele pada saat itu juga turut serta menolak poboya ditambang secara konvensional.

Sejarah tarikan kepentingan kepemilikan Pertambangan Poboya, adalah cerminan ekspansi kapitalisasi sektor sumber daya alam melalui keterikatan negara dalam kerjasama ekonomi berupa kontrak karya. Dikte pertumbuhan ekonomi dianggap adalah jalan menuju kesejahteraan sesuai pandangan pakar ekonomi liberal Adam Smith (Trikle efek down) rejeki yang menetes dari atas kebawah. Ini kemudian diterjemahkan dalam pengelolaan potensi emas poboya dengan Luas konsesi yang terdiri dari enam blok terpisah. Dimana Kepemilikan berada ditangan PT. Citra Palu Mineral sebagai pemegang Kontrak Karya, anak perusahaan dari Perusahaan Trans Nasional Corperation, PT. Bumi Resources. Harapan pemerintah dengan pengelolaan emas semacam itu mampu membawa pada pertumbuhan ekonomi dan akhirnya akan juga turut meningkatkan kesejahteraan rakyat. padahal ketika belajar dari pengalaman pengelolaan tambang yang lain sama sekali tidak ada kontribusi signifikan, bisa dilihat dari keberadaan PT.Freeport, Inco, Rio Tinto, dan lainnya.

PT. Bumi Resources sendiri bukanlah raksasa tambang yang mapan seperti perusahaan tambang lainnya. Penyertaan saham dalam bursa efek Jakarta (BEJ) merupakan salah satu bukti bahwa perusahaan ini sangat menggantungkan keuntungan pada spekulasi pembelian saham dari para perusahaan atau pemilik modal. Namun bermodalkan kontrak karya hasil pembelian terhadap PT.New Cress menghasilkan Komposisi Kepemilikan saham 99,9 %. Dalam Laporan Kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007, PT. Bumi Resources menyatukan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan perusahaan Borjuasi yang juga birokrat nasional PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%.

Anehnya, pemerintah hampir tidak pernah berusaha melihat informasi itu sebagai acuan kebijakan. justru yang terjadi baik Gubernur maupun Walikota sama sekali tidak berdaya berhadapan dengan perusahaan tambang ini. Padahal dalam aturan pokok-pokok pertambangan dan minerba diatur soal keterlibatan pemerintah provinsi untuk menegaskan sejauh mana kepentingan kepemilikan emas poboya dikelola secara menguntungkan, dilihat atas kelayakan lingkungan dan kepentingan rakyat (Daerah). Pemerintah daerah punya hak untuk melihat Apakah akan jauh lebih baik jika pengelolaanya diserahkan kepada PT.Bumi Resources atau rakyat dilihat dari aspek kelayakan lingkungan dan keuntungan? Seandainya pemerintah mau semua tidak akan menjadi sulit jika melihat tiga hal pokok berikut ini: pertama, aspek Pendapatan asli daerah (PAD). Pengelolaan secara langsung oleh rakyat tentunya nilai keuntungannya akan jauh lebih besar dibanding pengelolaan dilakukan perusahaan PT.Bumi Resources. Sebab regulasi pertambangan mineral hanya menyisihkan 10 persen pembagian hasil bukan keuntungan. Sementara poboya adalah konsesi pertambangan yang berada di empat kabupaten yakni Kabupaten donggala, kabupaten parigi, kabupaten sigi dan kota palu sendiri. Dapat diukur angka 10% dibagi empat kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat. Sangat sedikit hasil yang bisa diperoleh selain resiko kerusakan lingkungan yang jauh tak terkira dampaknya dari pertambangan rakyat. informasi tentang uang yang berputar di lokasi penambangan poboya sebesar Rp1, 5 M perharinya adalah angka yang fantastis dilihat sebagai potensi keuntungan yang lebih besar.
Kedua, Aspek Lingkungan. Pengelolaan pertambangan rakyat saat ini kelihatan tidak terkontrol dan sangat berpotensi tidak ramah lingkungan. Sebab pola pertambangannya dilakukan atas inisitaif dengan tingkat pengetahuan tehknis yang sangat terbatas. Belum lagi desakan modal pihak swasta kecil melakukan penetrasi modal yang menimbulkan eksploitasi secara besar-besaran dan tidak terkontrol. Namun semua itu bisa saja diminimalisir apabilah sanggup memberikan pengetahuan tehknis dan terlibat langsung dan pengawasan pengelolaan emas poboya. Jika dibandingkan dengan eksploitasi perusahaan besar, tingkat kerusakan yang ditimbulkan tentunya jauh lebih besar dilihat dari tingkat kemampuan produksi tehknologi yang dipergunakan. Belum lagi proses perubahan bentang alam dan pengelolaan limbah yang jumlahnya sangat besar, akan sulit diarahkan mengingat jarak tempuh antara lokasi tambang dengan kota palu.
ketiga, aspek Lapangan pekerjaan. Daya serap tenaga kerja dalam pertambangan model tromol yang sedang dikembangkan oleh rakyat jika dilihat dari partisifasi masyarakat jumlahnya sangat fantastis ada sekitar 600 orang dari pakava marawola barat yang terlibat langsung sebagai pekerja dengan pendapatan per hati rata-rata mencapai angka Rp.300.000,. tanpa melalui persyaratan formal model pertambangan ini mampu menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar . informasi kelurahan poboya ada sekitar 7000 orang yang ikut bekerja dalam proses pertambangan poboya. Jika dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja perusahaan tentunya akan sangat berbeda, persyaratan ijasah, dan pengalaman kerja menjadi hambatan terhadap partisipasi masyarakat sebagai pekerja. Bahkan pengurangan tenaga kerja sangat dimungkinkan oleh penggunaan tehknologi.

Melihat ini harusnya pemerintah mampu mendorong potensi ini sebagai jalan baru ekonomi. Aspek tehknis seperti penataan lingkungan hidup dan pengelolaan limbah harusnya dimajukan sebagai tanggung jawab bersama untuk diselesaikan. Tetapi yang terjadi klaim antara kemampuan model pengelolaan limbah versi perusahaan dan masyarakat diarahkan secara berlawanan. Padahal sudah kita pahami secara bersama bahwa tentu saja dengan keterbatasan pengetahuan dan modal pertambangan rakyat juga akan sangat mempengaruhi kualitas penanggulangan lingkungan. Ironisnya, Universitas tadulako yang berdiri tidak jauh dari lokasi penambangan tidak bisa diberdayakan secara baik untuk melihat polemic poboya sebagai kepekaan sosial dan bakti inteletualitas atas kemerdekaan rakyat dalam menentukan kepemilikan. Jika itu dilakukan yakin saja bahwa poboya bisa menjadi lokomotif kebangkitan ekonomi mandiri bangsa atas inisiatif dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyatnya tanpa adanya praktek kesenjangan seperti yang terjadi saat ini. Keuntungan terus dirasakan para pemodal besar sementara rakyat terus diselimuti kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar