Senin, 30 November 2009

POLITIK dan Perlawanan, Cintanya Seperti Belatung

Oleh: Andika
Pada mulanya semua nampak indah dan indah. Kami selalu mengedepankan kejujuran dalam memulai segala hal. Hampir tidak pernah ada petunjuk yang bisa mendorongku untuk memeluk kekecewaan, yang kurasakan sejauh ini, dialah tujuan diatas mimpi-mimpiku. Tapi sayang, perkabungan harapan serta merta menyerangku secara tiba-tiba. Suasana menjadi genting oleh bayang-bayang tingkah lakunya yang semerbak wangi kesturi, selembut sutra prabu, yang kalau diam menenggelamkan matahari. Masih teringat dengan jelas, pengakuannya. Dia, Si Senge yang sangat tertarik dengan warna hijau dan kadang-kadang membanggakan Nasi bamboo, sebuah masakan khas daerah Sulawesi. Dia pernah bercerita menikmati permainan kamar bersama Sabir seorang pria keturunan Jawa yang bapaknya adalah seorang pemimpin aliran kepercayaan yang cukup besar di tanah Jawa. Mereka bersilah kasih dalam harmoni hubungan yang kupercaya.
Deretan bangku di sudut Halte, Jalan Monginsidi adalah tempat pertama kali kami berjumpa. Senyum pesona dengan lidah yang sedikit menggigil, menancap dalam rasa percaya diriku. Saat itu harus kuakui bahwa dirinya benar-benar telah menyuntik dadaku dengan “kihdi sapi” sebuah penamaan terhadap jamur oleh masyarakat di Salah satu kampung di Sulawesi Selatan, rasanya begitu nikmat dan tidak terkira oleh logika. Perlahan-perlahan ku mulai berjalan dengan gerak yang sangat berhati-hati, tanpa berkilah ujung jari-jariku mengayun tanpa malu, aku mengajaknya berkenalan.
Namun, niscaya prasangka jadi kenyataan. Harapanku ternyata tidak seindah yang selama ini kupikirkan, Si Senge ternyata mirip seorang pemain Bola Liga Nasional Indonesia Hamka Hamsa, yang bisa berada di Posisi penyerang dan gelandang bertahan. Peluang-peluang kian terbuka, jejaring jejaring demi jejaring semakin luas. Kipranya kian tak tertandingi, semua dimensi telah menyatu dalam bakat yang dimilikinya meskipun, dia sendiri tidak terlalu percaya dengan bakat.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, saat itu hatiku tak lepas lelah mengulas dan mengkategorikan bagian-bagian dari tubuhnya yang nampak Indah. Sesekali khayalanku tertuju pada lesung pipihnya. Menurutku, itulah bagian yang paling menarik darinya, kadang-kadang matanya yang tajam tidak ketinggalan mengusik rasa ngantuk. Langit-langit kamarku pada saat itu, enggan menutup diri, seakan-akan ingin mengintegrasikan diri dalam asmaraku. Kiamat 2012, Janji Tuhan seolah-olah telah terkabul dalam Film ini. Meskipun adegan-adegannya sedikit kasar dan mengada-ada, namun akhirnya malam itu mataku bisa tertutup olehnya, mungkin karena lelah.
Seperti pula dalam cerita-cerita kuno, emansipasi kunyuk telah terintegrasi dalam logika irasional, tanpa makna. Dia bersikap melucuti kebenaran dengan menari diatas dua perasaan yang sedih karena bangga padanya. Poligami-Poliandri, dia katakan kamu mau jadi aku, penyederhaan itu seakan-akan membenarkan bahwa manusia tidak lebih dari pada wacana satu pasangan atau lebih. Telah sampai padanya kekuasaan diri, berkecamuk dalam kebebasan. Beriktiar dalam ambisi sekali-kali pelariannya, mendapat restu dari dua mantan kekasihnya. Mereka masih berfungsi menambal pikiran-pikirannya, sese-kali janji saling bernikmat, kadang-kadang terlontar dalam cakapnya.

Jumat, 30 Oktober 2009

POLA SOGOKAN SOSIAL DI BALIK RENCANA PENGELOLAAN TAMBANG EMAS DI MOUTONG -------------------------------------------------------

Oleh: ANDIKA

Realitas pertambangan di Sulawesi Tengah kian semerawut dalam berbagai pola sogokan sosial. Masyarakat selalu ditiupkan angin surga dengan berbagai program sosial seperti yang dijalankan oleh PT.Kemilau Nusantara Utama di Moutong. Hal itu dianggap sebagai kompensasi eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang sebetulnya secara nilai ekonomi sangat tidak ber-imbang. Anehnya, Pemerintah selalu menjadi garda terdepan dalam mendorong suksesnya projek yang tidak hanya merugikan rakyat, tetapi daerah dan bangsa secara umum.

Di Parigi Moutong eksploitasi SDA kategori mineral emas, melalui PT. Kemilau Nusantara Utama rencananya akan mengeksploitasi deposit emas pada gunung Tagena luas konsesi sebesar 80 hektare. Proyek penambangan ini berada di dua kecamatan yakni kecamatan Moutong dan kecamatan Taopa. Perusahaan yang dimotori langsung oleh seorang investor berkebangsaan korea tersebut, menggandeng politisi handal Partai Golkar yang juga Tokoh nasional Marwa Daud Ibrahim. Pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Moutong yang di fasilitasi langsung oleh Wakil Bupati, dihadiri sejumlah petinggi TNI dan Polisi di Kabupaten Parigi Moutong. Dalam Sosialisasi tersebut gambaran tentang masa depan masyarakat pasca dan berlangsungnya praktek penambangan ini dengan ragam sogokan sosial, di sampaikan langsung oleh ibu Prof.Dr. Marwa Daud Ibrahim yang diamini oleh jajaran SKPD Kabupaten Parigi Moutong dibawah pimpinan wakil Bupati Syamsu Rizal.

Sebelum lebih jauh, masyarakat, pemerintah dan unsur pemerhati pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong bagai terhipnotis dan termakan rayuan surga pertambangan. Perlu untuk diketahui bahwa praktek penambangan di Parigi Moutong adalah hal baru, kemungkinan kerugian dan kompensasi yang dihasilkan tidak sesuai keinginan masyarakat;

Pertama, secara tehknis menurut ibu Marwa Daud Ibrahim bahwa praktek penambangan yang akan dilakukan di daerah Moutong ini menggunakan tekonologi modern yang tidak menggunakan air, senyawa kimia dan tidak merubah kondisi alam. Pernyataan semacam itu tentu saja sulit untuk dirasionalisasi secara ilmiah. Sebab dalam praktek pertambangan, secara umum proses esktraksi bahan galian dijalankan lazimnya di dekat permukaan dan juga ada yang terkumpul di bawah permukaan tanah yang relatif agak dalam. Selain itu bahan galian tersebut ada yang keras. Ada yang lunak bahkan setengah kompak. Karena terdesak keperluan bahkan ada galian yang berada di bawah air. Atas dasar cara kerjanya, bahan galian industri biasanya ditambang dengan cara: digali, disemprot dengan pompa bertekanan tinggi, dan disedot dengan pompa hisap.

Berdasarkan tempat kegiatan pertambangan, maka eksploitasi juga dilakukan dengan cara Tambang Terbuka, Tambang Bawah Tanah, dan juga Peledakan. [1] Tambang terbuka, semua kegiatan penambangan dilakukan di permukaan bumi. Pada kegiatan penambangan ini khususnya untuk bahan galian industri disebut sebagai kuari. Berdasarkan atas produk yang dihasilkan, letak dan bentuknya dibagi menjadi kuari tipe sisi bukit, dan kuari tipe lubang galian. [2] Sedangkan tambang bawah tanah, dikenal dengan lubang tikus (atau geophering), yang diterapkan untuk endapan bahan galian industri atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata. Arah penambangan biasanya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang ditambang (Sukandarrumuid, 1999 dalam Gali-gali, 2001).

Sejauh ini praktek pertambangan adalah usaha pemisahan kandungan material yang saling mengikat menggunakan cairan dan senyawa kimia. Apalagi, Pertambangan Emas yang di buka melalui perusahaan sekelas PT. Kemilau Nusantara Utama yang secara nama boleh dikata pendatang baru didunia pertambangan dan tidak sehebat perusahaan raksasa tambang lainnya, yang memiliki standar dan kualifikasi pengelolaan lingkungan. Aspek seperti pengelolaan limbah, pencegahan polusi, dan pencemaran sulit diartikulasikan dalam pertanggung jawaban perusahaan secara lebih luas. Sementara Penggunaan bahan-bahan senyawa kimia berupa, Cairan Merkuri, Sianida, adalah sesuatu yang lazim dalam industry baik skala besar maupun kecil.

Kedua, Dampak kerusakan lingkungan yang paling menonojol akibat dari Eksploitasi SDA adalah perubahan bentang alam secara drastic. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat Moutong mengingat [1] Tambang Emas seluas 80 hektar ini berada di pegunungan Tagena Moutong Timur. [2] Mayoritas masyarakat di daerah ini adalah petani. Tidak adanya sistem irigasi yang memadai telah meciptakan Ketergantungan siklus alam secara massif, hal itu yang menentukan berhasil-tidaknya tanaman pertanian masyarakat di dua kecamatan yakni Moutong dan Taopa. Kondisi ini sudah berlangsung secara turun temurun.

Dalam pertambangan kategori mineral hal lain yang juga menarik adalah penggunaan air. Tambang emas di kenal adalah pertambangan yang paling rakus menggunakan air. Keberadaan pegunungan Tagena jika di lihat, adalah kawasan cadangan suplay air bagi kebutuhan pertanian dan perladangan masyarakat setempat. Kemungkinan rusaknya sistem hidrologi didaerah ini sangat besar di akibatkan dari proses pembabatan hutan, penggalian dan pencemaran akibat polusi pabrik emas. Pada sisi lain wilayah ini sangat rentan dengan banjir, hampir setiap tahun daerah ini di beritakan selalui mendapatkan jatah banjir. Terakhir banjir terjadi pada tanggal 14 May 2009 yang merendam tiga Desa yakni Desa Moutong Barat, Salumpengut, dan Desa Gio (Koran Indonesia, 2009).

Ketiga, nilai ekonomi yang didapatkan dari hasil pertambangan Emas Moutong juga tidak memiliki sandaran jelas. Komposisi kepemilikan saham sepertinya tidak mendapatkan tempat dari proyek pertambangan ini, selain dari pada ketentuan royalty sesuai aturan pertambangan. Jika dilihat dari segi jumlah, komoditisasi Emas ini akan lebih menguntungkan pihak investor ketimbang daerah dan rakyat. Sebab keberadaan PT. Kemilau Nusantara Utama katanya hanya menjanjikan pekerja sebanyak 100 orang bagi penduduk lokal, jumlahnya jauh lebih sedikit di banding jumlah pekerja yang berada pada pertambangan tromol rakyat, di Kelurahan Poboya Palu. Sementara jumlah penduduk di dua kecamatan areal konsesi emas ini, berdasarkan data BPS Parigi Moutong 2008 secara keseluruhan adalah kurang lebih 43.000 jiwa dan mayoritas berprofesi sebagai petani.

Kegamangan juga terlihat jelas, pada saat sosialisasi pemberdayaan masyarakat lingkar tambang yang dilakukan oleh perusahan PT. Kemilau Nusantara Utama, pada tanggal 28 Oktober 2009 Di gedung pertemuan masyarakat Moutong. Juru bicara perusahaan Marwa Daud Ibrahim sulit menjawab pertanyaan masyarakat terkait kualifikasi tenaga kerja. Menurut masyarakat mereka adalah petani dan bagaimana mungkin bisa beradaftasi secara cepat dalam industrialisasi pertambangan tersebut. Kemungkinan arus migrasi tenaga kerja dari luar, akan sangat memungkinkan untuk menggeser keberadaan masyarakat di kecamatan Moutong jika melihat kenyataan tersebut.

Ironisnya, janji kesejahteraan yang di tawarkan oleh perusahaan lebih mengarah pada semangat Corperation Sosial Resposibility (CSR) standar lazim kompensasi perusahaan. Pada umumnya, Hal itu bertujuan untuk menjaga hubungan hak diantara masyarkat dengan penambang agar tetap kelihatan lebih peduli dan manusiawi. Program yang di tawarkan pun tidak lebih jauh lebih maju, dari apa yang sudah dikerjakan masyarakat di Kecamatan Moutong misalnya, pembagian hewan ternak, pembangunan sekolah yang sesungguhnya nilai tukarnya secara ekonomis tidak berimbang dengan deposit emas yang dikeruk serta nilai kerugian jangka panjang yang harus dirasakan masyarakat.

Melihat kenyataan diatas, pertambangan Emas di Moutong sudah harus berubah orientasinya pada posisi yang lebih menguntungkan bagi daerah dan masyarakat. Banyak hal yang bisa dilakukan dari pemanfaatan SDA ini misalnya, [1] pemerintah Parigi Moutong mendorong kepemilikan saham secara mayorotas atas pertambangan ini. Hal itu dilakukan diluar kompensasi tanggung jawab sosial dan lingkungan serta royalty sesuai aturan pertambangan. [2] jika ternyata pertambangan ini sama sekali tidak bisa menjawab problem kesejahteraan seperti yang dijanjikan sebaiknya di tutup saja.
Penulis adalah Koordinator Departemen Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Sulteng)

Sumber :
Indonesia Koran (2009)” Tiga Desa di Kabupaten Parigi Moutong Terendam Banjir”………………
Bulletin Gali gali Volume 3, Nomor 10 Maret 2001 dari Buku berjudul Bahan Galian Industri, karangan Sukandarrumuidi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999………………………………
Sangadji Anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”……….
Sudarmadji, (2007) “Pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup dan otonomi daerah” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies UGM ke-58 PEMBANGUNAN WILAYAH BERBASIS LINGKUNGAN DI INDONESIA di Yogyakarta…………………………………………….

Baiquni, M. dan Susilawardani. (2002)” Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis
Pembangunan Indonesia. ideAs dan TransMedia Global Wacana. Yogya………………………….

Senin, 12 Oktober 2009

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”

MORATORIUM POBOYA UNTUK SIAPA: “PELIBATAN APARAT DAN SCENARIO BUMI RESOURCES”
A n d i k a
Beberapa bulan terakhir fenomena pertambangan rakyat merebak dimana-mana, hampir semua daerah telah berinisiatif untuk mengolah emasnya. Palu-sigi, Parigi, Buol, luwuk adalah daerah di Sulawesi Tengah yang kelihatan timbul kepermukaan. Anehnya, stigmatisasi juga seiring sejalan dengan pertumbuhan tambang versi rakyat itu. Merusak lingkungan, pencemaran, dan gejolak sosial adalah tuduhan lazim yang menandakan spectrum pemerintah.

Kepemilikan sumber daya alam, Lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi mikro, dan taraf kesejahteraan rakyat sangat kurang diminati dalam diskursus ilmiah, maupun perdebatan terbuka antara rakyat dan pemerintah. Bahkan untuk menguatkan wacana versi pemerintah, berbagai penelitian dilakukan, misalnya dugaan pencemaran hasil test laboratorium oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Hasilnya dugaan pencemaran dari aktifitas tambang tromol yang dilakukan di Kelurahan Poboya semakin menguat. Hal ini pula yang mengembangkan wacana tambang tromol Poboya menjadi sangat liar dan tidak terkendali.

Wacana yang bergulir dari hasil penelitian versi pemerintah, akhirnya telah membawa perhatian kita pada rencana penggusuran tambang poboya (Penertiban) dengan dalih Moratorium. Pertemuan pun dilakukan unsur muspida Provinsi pada tanggal 7-8-9 Oktober 2009 di gedung Gubernuran Provinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan itu membahas beberapa agenda dan tugas dari Tim penertiban yang dibentuk, dengan tujuan melaksanakan tugas penertiban tambang Poboya (Sosialisasi, tatalaksana penertiban).

Sementara tanggal 9 Oktober 2009 pertemuan juga berlangsung di kantor Polda Sulteng antara masyarakat Poboya dengan Kapolda Sulteng. Tujuan pertemuan masyarakat Poboya dan Pihak Polda Sulteng, adalah untuk membahas rencana penertiban aktifitas tambang tromol poboya, dimana Polda Sul-Teng sebagai eksekutor yang mungkin akan dibantu oleh aparat Pamong Praja, dan aparat TNI jika diperlukan dengan biaya operasi sekitar 200 an juta (Jatam Sulteng, Walhi Sulteng, 2009).

Justifikasi Pemerintah untuk mengintervensi aktivitas tambang tromol di Kelurahan Poboya, adalah untuk menghentikan sementara (Moratorium) aktifititas itu. Selain karena alasan lingkungan Hidup, tindakan ini juga adalah upaya menata pengelolaan tambang Poboya secara lebih arif untuk kemaslahatan bersama (Pernyataan Gubernur diruangannya 2009). Alasan itu dalam pandangan sederhana bisa di pahami. Namun lebih jauh dari itu, mungkin penting di lihat dan diketahui masyarakat kota Palu bagaimana konfigurasi politik investasi dan kepentingan dibalik kisruh tambang tromol Poboya. Hal itu penting, agar dalam penertiban ini tidak menempatkan masyarakat poboya sebagai obyek penggusuran tetapi untuk menata pertambangan tromol itu sesuai pernyataan walikota pada aksi massa yang dilakukan penambang tromol (September 2009).

Pertama, Poboya adalah salah satu blok yang dimiliki oleh PT. Bumi Resources melalui anak perusahaannya PT. Palu Citra Mineral (CPM). Dalam Laporan Tahunan 2007, agenda utama dari PT.Bumi Resources adalah segera mempercepat proses eksplorasi dengan perencanaan tahun 2012, untuk segera eksploitasi. Mengingat cadangan emas di Kelurahan Poboya sebesar 2 juta Ons, kedua dari Konsesi emas Bumi lainnya di Negara Yaman. Cadangan emas Poboya sekaligus salah satu pendongkrak nilai saham Bumi (PT.Bumi Resources) di Bursa efek (Pasar penjualan saham).
Peluang investasi dan Jaminan nilai saham memiliki rumus keamanan. semakin banyak tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan didukung secara baik oleh pemerintah, maka sudah pasti lembaran-lembaran saham itu akan mengalami peningkatan. Itu bisa dibuktikan dari sejumlah agenda investasi di Sulawesi Tengah yang seiring sejalan dengan proyek pembangunan kompi-Kompi militer dan kepolisian (Lihat, Lian Gogali 2006).

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding PT.Bumi Resources dalam upaya penertiban pemerintah terhadap tambang tromol Poboya. Hanya sekedar mengingatkan pemerintah jangan sampai langkah penertiban bukan untuk kepentingan penataan tambang tromol versi rakyat, tetapi justru untuk memuluskan agenda PT. Bumi Resources. Dugaan ini patut untuk dilihat lebih mendalam mengingat ada kemiripan pernyataan antara Gubernur dan Walikota Palu. Mereka sering sekali mengungkapkan bahwa sebelum penataan tambang dilakukan, kita moratorium dulu sembari meminta izin pada PT.Bumi Resouces selaku pemilik Kontrak Karya (Pernyataan di kantor Gubernur, dan pernyataan walikota pada Worksop tambang KP. Nelayan). Pernyataan ini menggambarkan bagaimana sikap ketergantungan pemerintah terhadap ketidakberdayaannya, untuk menyatakan sikap secara politik atas penegasan kepemilikan emas Poboya. Sehingga Moratorium ini Kemungkinan untuk di injeksi (di tunggangi) oleh kepentingan Bumi, sangat memungkinkan.

Kedua, penertiban ini juga penting dilihat dalam segala kemungkinan timbulnya praktek kekerasan. Pengerahan aparat keamanan untuk menertibkan tambang tromol Poboya kemungkinan bisa diterjemahkan berbeda oleh masyarakat Poboya maupun penambang lainnya. Pengalaman dari berbagai praktek penggusuran, karena kurangnya sosialisasi dan negosiasi yang seimbang memungkinkan timbulnya gesekan antara aparat keamanan dan masyarakat.

Kebiasaan heroisme dari oknum kepolisian acap kali menimbulkan rasa tidak simpati oleh masyarakat, dalih seperti tindakan persuasive dan preventif biasanya sulit juga diartikan oleh oknum aparat keamanan sendiri, apalagi kalau misalnya melibatkan pamong praja, yang secara protaf tidak sehebat disiplin Kepolisian. Bisa dilihat dari penggusuran yang dilakukan di berbagai tempat, acap kali kelihatan keganasan aparat pamong praja.

Penggunaan anggaran sebesar Rp.360 juta untuk biaya penertiban ini dan konon katanya 200 juta untuk biaya operasi yang dilakukan aparat kepolisian bersama jajarannya. Anggaran itu di duga bersumber dari APBNP, bisa jadi akan percuma dan justru berbalik pada situasi yang negative. Pemerintah harus secara arif bekerjasama dengan masyarakat poboya dengan melibatkan partisipasi kesadaran mereka untuk mau menerima tujuan pemerintah, demi jalan kesejahteraan bersama (Kalau memang niatnya untuk kesejahteraan). Penetrasi kepentingan berbagai pihak seperti, tengkulak, cukong, preman, dan lumpen masyarakat lainnya harus diperhatikan dengan seksama, jangan sampai kepentingan mereka bisa mendominasi, sehingga meruntuhkan semua harapan dan cita-cita masyarakat Poboya secara arif dalam mengelola alamnya.

Ketiga, Dampak Secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Poboya. Moratorium secara istilah adalah jeda aktifitas, dalam konteks poboya moratorium dimaksudkan untuk menghentikan sementara seluruh aktifitas yang terkait dengan penambangan tromol di Kelurahan Poboya. Penghentian itu kemudian akan dilanjutkan kembali dengan penataan sistem pertambangan rakyat, begitu kira-kira gambaran idealnya. Penghentian ini bukan berarti tidak memiliki dampak secara ekonomis terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun pekerja migrasi dari berbagai daerah yang sedang mengais rejeki di Kelurahan Poboya.

Bagi masyarakat Poboya, bertambang adalah jalan ekonomi yang sanggup meningkatkan taraf hidup mereka, meskipun dalam hubungan produksi sebagian besar hanya sebagai pekerja. Mereka mengais rejeki di balik megahnya bangunan tromol dan desingan riuh gemuruh tromol sebagai pekerja, karena ternyata kepemilikan tromol di Kelurahan Poboya lebih dominan pemodal-pemodal kecil (Cukong-cukong) ketimbang masyarakat poboya. Hal itu bisa dilihat dari komposisi kepemilikan tromol, dimana hanya tiga keluarga Poboya yang memiliki tromol (Penggunaan kata keluarga hanya untuk memudahkan penyebutan) [1] Keluarga Ali Jalaludin (Ketua Adat) [2] Keluarga Bapak Isra [3] Keluarga Janggola (Rumpun Keluarga Bupati Parigi Moutong “Longky Janggola”).

Dapat dibayangkan jika penghentian tambang ini (Moratorium) berlangsung lama. Sudah secara otomatis akan sangat menyulitkan perekonomian masyarakat Poboya. Mengapa demikian? Perubahan besar secara radikal dari bertani menjadi pekerja tambang adalah konsekwensi pada perubahan basis produksi. Masyarakat poboya sudah meninggalkan corak pertanian sekitar 9 bulanan yang lalu dan serta merta melibatkan dirinya dalam pergumulan tromol. Hal lain adalah kondisi kekeringan dan lahan yang realif tandus akan menyulitkan mereka untuk mengolah kembali tanah pertanian untuk kebutuhan temporer (menunggu Moratorium). Belum lagi sebaran mesin-mesin tromol yang tidak kenal medan, tentu saja akan menganggu kondisi permukaan tanah.

Memperhatikan hal ini, pemerintah tidak bisa tegesa-gesa dalam melaksanakan kebijakan Moratorium. Apalagi pengerahan aparat keamanan di tengah ketergantungan ekonomi yang tinggi, hal ini akan membuat masyarakat Poboya mengalami penyempitan hak dalam pergaulan tanggung jawab pemerintah, yang dari awal tidak mengintervensi aktifitas tambang ini. Hitungan-hitungan terhadap berbagai resiko yang terjadi pasca moratorium tidak bisa diukur dengan intervensi tekhnis sebagaimana yang terjadi pada masyarakat translok di Lembah Lore Lindu (Lihat, Tania M li). Kepastian terhadap basis produksi mereka adalah jawaban tunggal terhadap kepentingan semua tujuan Moratorium ini, dan tambang tromol versi rakyat adalah suara mayoritas.
Untuk itu pemerintah dan siapa pun pihak yang terlibat dalam upaya moratorium ini harus kembali pada hak-hak mendasar yang di miliki oleh masyarakat poboya. Intervensi pemerintah harus mendorong pada perbaikan taraf kesejahteraan rakyat misalnya pengakuan atau Izin, acces bantuan modal tromol untuk kepentingan bersama (tambang kolektif dan menghapuskan tengkulakisme), peningkatan kapasitas secara tekhnis para penambang, dan memberikan gambaran letak kebijakan yang secara arif untuk keadilan bersama dalam pengelolaan sumber daya alam karunia sang pencipta.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah ----------

Sumber:
Li M Tania, (2008) “Will To Improve”.---------------------------------
Gogali lian, (2006)”Marmer,Migas, dan Militer di ketiak Sulawesi Timur” antara kedaulatan rakyat dan pemodal” Kertas Posisi Yayasan Tanah Merdeka Palu.---------
Sangadji anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”
Alkhairaat media, (2009)
Andika,(2009)”Pemerintah, dalam penegasan Kepemilikan emas Poboya”Media Alkhairaat.

Senin, 14 September 2009

Pemerintah, Dalam Penegasan Kepemilikan Emas Poboya

Oleh: Andika

Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah melalui kebijakan Gubernur dalam waktu dekat ini akan melakukan penertiban untuk menjedah sementara aktivitas penambangan emas model tromol di kelurahan poboya (Moratorium). Implementasi kebijakan ini akan dilakukan dalam kerangka teknis melalui pembentukan tim penertiban tambang poboya yang dibagi dalam dua tim pertama, Tim lapangan kedua, Tim studi dan sosialisasi penjedahan tambang emas poboya.

Kebijakan ini sendiri adalah sebagai respon cepat atas penambangan emas poboya yang dilakukan oleh masyarakat. Klaim atas pencemaran dan perilaku menambang yang tidak terorganisir dan tertata dengan baik, telah membawa public kepada kesimpulan bahwa aktivitas penambangan poboya berbahaya bagi lingkungan. Sehingga Gubernur Sulawesi Tengah mengambil keputusan melalui proses jajak pendapat seperti worksop tambang yang telah dilakukan oleh pemerintah kota palu bersama sejumlah LSM lingkungan dan hasil tes laboratorium oleh dinas kesehatan provinsi. Memang secara sekilas telah Nampak tergambarkan bahwa sudah saatnya penambangan poboya untuk dihentikan sementara aktivitasnya. Jauh dari semua rencana penertiban tersebut, masyarakat poboya tentunya memiliki segudang harapan dan mimpi kesejahteraan dalam memperlakukan alam yang telah melimpahkan emas ditanah kelahiraannya.

Namun kemampuan itu akan sangat sulit bagi rakyat untuk dieksplorasi, melihat lebih luasnya orang yang terlibat dalam pertambangan poboya. Disamping itu keberadaan pemerintah justru duduk kelihatan bersimpangan dengan kepentingan penguasaan emas. Posisi perusahaan bumi resources tetap dianggap paling berdaulat atas emas poboya berdasarkan kontrak karya. Padahal jauh dari semua kepentingan itu, pemerintah sebetulnya mampu memaksimalkan penguasaan pada posisi rakyat atas dukungan penuh masyarakat sendiri.

Masyarakat Poboya dan Peralihannya

Peralihan masyarakat Poboya dari petani yang memanfaatkan tanah secara bertani untuk kebutuhan hidupnya (subsisten) menjadi masyarakat yang memanfaatkan tanah dengan cara menambang (pekerja tambang tromol) merupakan perkembangan yang penting dilihat oleh semua pihak dengan pikiran yang dialektis. Beragam aktivitas yang timbul dari peluang kerja baru tersebut, mengangkat, membagi peran, hingga arus hilir mudik telah menciptakan relasi ekonomi yang sepertinya berjalan mekanis.
Wacana belakangan yang timbul dipermukaan adalah pencemaran air yang berdampak pada terganggunya sistem aliran air bersih untuk suplai kebutuhan beberapa pemukiman dikota palu. Anehnya, pandangan orang melihat poboya hanya pada aspek tehknisnya. Lebih jauh sebetulnya poboya punya masalah yang rumit selain pada buruknya sistem pengendalian pencemaran lingkungan.

Tanah poboya yang kering dahulu dikenal kesulitan air untuk kebutuhan pertanian kini, telah berubah menjadi daerah sibuk dengan aktivitas ekonomi. Selain mempertontonkan parade Percikan pasir dan batu. Disana terlihat juga aktivitas yang begitu seirama antara hadirnya orang-orang dari berbagai macam tempat dan daerah sebagai pedagang kain, makanan. Kegiatan itu dilakukan disela-sela aktifitas pemahatan batu oleh para pekerja dilubang-lubang. Rantai perdagangan bahkan juga telah masuk hingga ke mesin tromol pengelolaan tambang emas di tanah poboya, para pedagang datang menjajakan aneka makanan dan minuman siap saji kepada para pekerja tambang yang ada di tromol. Hampir tak terlihat sebuah aktivitas yang sia-sia disana, semua orang kelihatan begitu menghargai waktu, layaknya masyarakat pekerja dalam era industrialisasi masa kini. Peran-peran mereka sangat berjalan dinamis dengan pembagian yang kelihatan penuh keteraturan.
Namun apapun alasannya yang jelas masyarakat poboya saat ini secara ekonomi tidak akan bertahan atau kembali dalam model pemanfaatan tanah secara subsisten, karena model pengelolaan tanah yang baru ini sanggup menjawab problem ekonomi mereka. Pandangan rakyat sejauh ini selalu terwakilkan melalui dewan adat. Alasannya, selalu berubah-ubah kadang melalui dewan adat rakyat tidak mengakui keberadaan orang lain di tanah mereka. Tetapi ketika kita lihat di poboya, masyarakatlah yang memfasilitasi para penambang dari luar. Bahkan penginapan mereka menggunakan rumah-rumah warga, tetapi kondisi ini tidak berlaku secara umum karena sangat didasari pada acces pengelolaan dan kepemilikan. Lagi-lagi kelas masyarakat disini berperan menciptakan pola penghasilan yang berbeda. Salah satu contoh bisa dilihat pada tokoh-tokoh adat. Dimana dalam acces kepemilikan dan pengaturan pengelolaan tanah mereka punya kewenangan yang lebih luas dari keseluruhan masyarakat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para cukong-cukong untuk mendekati mereka dalam ikatan kerjasama. Pola yang digunakan sangat professional misalnya, para cukong membangun tromol diatas tanah para tokoh-tokoh adat atau masyarakat dengan mengangkat pemilik tanah sebagai penanggung jawab atau semacamnya. Keseluruhan Penghasilan dari hasil penambangan menjadi milik sepenuhnya pemilik tromol. Penghasilan dari penanggung jawab tadi sejauh informasi yang didapatkan sangat tergantung pada kesepakatan anatara kedua belah pihak. Semua pola itu adalah scenario untuk menegasikan posisi para cukong dari stigmatisasi sebagai lintah darat dan semacamnya, menjadi kelihatan lebih manusiawi dari pandangan luar. Sementara pekerja tehknis untuk penanganan setiap unit tromol dalam 10 turbin pemutar bisa mencapai 5 orang. Dalam kasus poboya semua pekerja ini adalah tenaga tehknis yang diikutkan oleh para pemilik cukong. Alasan yang diberikan pemilik tromol kepada masyarakat bahwa orang poboya masih baru dalam hal ini dan memerlukan orang lain untuk belajar maka untuk sementara waktu yang menangani tromol adalah pekerja dari daerah asal pemilik tromol seperti kota mubagu dan gorontalo dibantu oleh masyarakat (Walhi Sulteng 2009).

Perananan dewan adat sebagai Tokoh masyarakat yang didengarkan telah pula membawa angin keberuntungan bagi diri pribadinya. Dewan adat diberikan legitimasi oleh rakyat untuk melakukan pungutan terhadap aktivitas penambangan. Bahkan memasang pos penjagaan dan plang kewenangan layaknya instruksi dan informasi aturan pemerintah. Tidak hanya itu, kategorisasi model pengutan juga sangat variatif tergantung arah dan tujuan kewenangan seperti kartu masuk lokasi tambang, dibagi dua pertama, kartu untuk jalan-jalan diareal penambangan dan kartu sebagai pekerja tambang. Dampaknya semua pungutan itu jatuh di tangan ke kas adat. dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur di kelurahan poboya, uang hasil pungutan itu kemudian dikelola pengurus adat sistem keadatan yang mereka pahami. Namun karena tidak adanya proses audit hasil pungutan, dan kepada siapa pungutan akan diarahkan membuat semua model pungutan itu dalam perjalannya menjadi kabur. Ketua adat karena kewenangan besar yang diberikan padanya telah pula merubah statusnya mengalahkan pemerintah. Dia berinisiatif mutlak atas semua pungutan dan memberikan denda pada setiap aktivitas yang dianggap tidak sesuai keinginan dewan adat. Akibatnya, secara tidak langsung ketua adat menjadi sangat berkuasa dan bisa dianggap telah menjadi raja kecil baru ditanah poboya atas semua kewenangan yang dimilikinya. Bahkan, disalah satu plang tertulis dilarang membawa perempuan nakal dimana kata-kata ini sangat berbau kriminalisasi terhadap perempuan yang notabene dalam pertambangan poboya sangat minim perannya. Kondisi semacam ini melambangkan ada pihak-pihak yang diuntungkan atas kurangnya keterlibatan pemerintah dalam mengatur pengelolaan tambang rakyat. Semisal keluhan beberapa masyarakat yang merasa hanya sebagai pekerja kasar dengan medan kerja yang sangat beresiko tetapi kemudian pendapatannya tidak sama dengan oleh sebagian masyarakat lainnya. Disamping itu keberadaan orang dari luar telah perlahan-lahan menggeser kendali sebagian masyarakat atas pemanfaatan lahan emas poboya. Kelihatan dari meluasnya lubang-lubang pengambilan material serta pembangunan mesin tromol disepanjang bantaran sungai poboya. Bahkan lahan eks kebun bawang telah dikuasai oleh modal-modal dari luar yang datang membangun tromol dengan pola penyewaan tanah atau yang lazim bagi hasil.

Namun keberadaan masyarakat poboya sendiri Seiring dengan perkembangan arus modal telah pula melahirkan sifat baru dari masyarakat dalam melihat dan memposisikan tanah dalam sistem produksi. Hal ini bisa dibuktikan dari hamparan tanah yang dahulunya menjadi pusat tanaman palawija seperti jagung, bawang, kini telah berganti dengan bangunan menyerupai rumah dan kandang-kandang berisikan mesin-mesin tromol. Disamping itu potensi alam yang relative tandus dengan hanya mengandalkan air dari sisa PDAM untuk kebutuhan bertani tidak menjadikan pendapatan mereka mampu mendatangkan nilai lebih (surflus) dari kebutuhan mereka sehingga pilihan merubah fungsi tanah dan pekerjaan menjadi menambang adalah jalan yang dianggap lebih baik. Sekarang poboya telah menjadi daerah yang menjadi tempat perputaran ekonomi diserbu oleh berbagai macam kepentingan dagang. Eksistensialis mereka dilihat dari komposisi kepemilikan tromol sangat terancam, bahkan sasaran penyingkiran akan lebih dekat diarahkan kepada masyarakat poboya yang telah kehilangan fungsi tanah oleh stigmatisasi masyarakat perkotaan sebagai biang pencemaran.


Melihat kurangnya keterlibatan secara serius pemerintah daerah utamanya pemerintah kota palu menimbulkan pertanyaan besar. Dua hal bisa jadi alasan pertama, kedudukan secara politik dipartai Golkar antara Rusdi Mastura dan Aburizal Bakri (Pemilik PT.Bumi Resources). Meskipun disetiap kesempatan walikota menyampaikan tidak akan meninggikan kepentingan siapa pun atas poboya selain melihat pada aspek pemanfaatan dan lingkungan. Namun dalam pernyataan-pernyataannya di media kerap kali bertentangan antara satu dengan yang lain. Bahkan secara terbuka menyerahkan penataan tambang poboya pada Gubernur Sulawesi Tengah (Media Alkhairaat 2009). Ini mengisayaratkan bahwa seoal-olah pemerintah kota tidak mau terlibat polemic penguasaan sumber daya alam yang kelihatan mulai berhadap-hadapan antara kepentingan rakyat dan pemodal, dimana pemerintah dipaksa berdiri ditengah-tengah untuk kepada siapa dukungannya akan berlabuh.

Kedua, kontestasi politik pemilihan kepala daerah ditingkatan pemerintah Kota dan Gubernur kelihatan turut mewarnai intervensi poboya. Hal itu terlihat dari misalnya pemerintah kadang-kadang mau menerima keberadaan masyarakat melalui model pengeloaan emas usulan dari berbagai pihak termasuk LSM, dan akademisi. Tetapi disatu sisi keresahan dan niat untuk menggusur para penambang juga disampaikan diberbagai kesempatan. Pencitraan dan pembelaan menjadi sesuatu yang masih tetap dibutuhkan untuk kepentingan dukungan. Namun tetap saja posisi perusahaan dianggap pemerintah menjadi mutlak ketika harus dihadapkan pada politik penguasaan rakyat, seperti yang disampaikan Rusdi Mastura saat menjadi salah satu nara sumber di kegiatan worksop tambang emas poboya (agustus 2009) bahwa akan melakukan negosiasi meminta persetujuan pihak perusahaan untuk memberikan sebagian lahan menjadi areal penambangan rakyat, dengan posisi anak dan bapak angkat.

Padahal sudah umum diketahui bahwa perusahaan akan selalu melakukan pendekatan apapun caranya sejauh itu menguntungkan bagi pihak perusahaan bahkan mereka telah memiliki standar pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial seperti CSR (Corporation Sosial Responsibility) (anto sangaji 2009). Keterlibatan pemerintah mendorong pola kolaborasi seperti yang ditunjukan oleh walikota palu rusdi mastura merupakan perilaku lazim pejabat pemerintah. Kemungkinan untuk memberikan sebagian lahan perusahaan bisa saja melihat itu sebagai keuntungan wacana dan perang image, mengingat sepanjang sejarah masuknya perusahaan besar dipoboya dimulai dari PT.Rio Tinto ke new creass hingga ke bumi resources banyak ditentang oleh masyarakat bahkan Gubernur Amuniddin Ponulele pada saat itu juga turut serta menolak poboya ditambang secara konvensional.

Sejarah tarikan kepentingan kepemilikan Pertambangan Poboya, adalah cerminan ekspansi kapitalisasi sektor sumber daya alam melalui keterikatan negara dalam kerjasama ekonomi berupa kontrak karya. Dikte pertumbuhan ekonomi dianggap adalah jalan menuju kesejahteraan sesuai pandangan pakar ekonomi liberal Adam Smith (Trikle efek down) rejeki yang menetes dari atas kebawah. Ini kemudian diterjemahkan dalam pengelolaan potensi emas poboya dengan Luas konsesi yang terdiri dari enam blok terpisah. Dimana Kepemilikan berada ditangan PT. Citra Palu Mineral sebagai pemegang Kontrak Karya, anak perusahaan dari Perusahaan Trans Nasional Corperation, PT. Bumi Resources. Harapan pemerintah dengan pengelolaan emas semacam itu mampu membawa pada pertumbuhan ekonomi dan akhirnya akan juga turut meningkatkan kesejahteraan rakyat. padahal ketika belajar dari pengalaman pengelolaan tambang yang lain sama sekali tidak ada kontribusi signifikan, bisa dilihat dari keberadaan PT.Freeport, Inco, Rio Tinto, dan lainnya.

PT. Bumi Resources sendiri bukanlah raksasa tambang yang mapan seperti perusahaan tambang lainnya. Penyertaan saham dalam bursa efek Jakarta (BEJ) merupakan salah satu bukti bahwa perusahaan ini sangat menggantungkan keuntungan pada spekulasi pembelian saham dari para perusahaan atau pemilik modal. Namun bermodalkan kontrak karya hasil pembelian terhadap PT.New Cress menghasilkan Komposisi Kepemilikan saham 99,9 %. Dalam Laporan Kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007, PT. Bumi Resources menyatukan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan perusahaan Borjuasi yang juga birokrat nasional PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%.

Anehnya, pemerintah hampir tidak pernah berusaha melihat informasi itu sebagai acuan kebijakan. justru yang terjadi baik Gubernur maupun Walikota sama sekali tidak berdaya berhadapan dengan perusahaan tambang ini. Padahal dalam aturan pokok-pokok pertambangan dan minerba diatur soal keterlibatan pemerintah provinsi untuk menegaskan sejauh mana kepentingan kepemilikan emas poboya dikelola secara menguntungkan, dilihat atas kelayakan lingkungan dan kepentingan rakyat (Daerah). Pemerintah daerah punya hak untuk melihat Apakah akan jauh lebih baik jika pengelolaanya diserahkan kepada PT.Bumi Resources atau rakyat dilihat dari aspek kelayakan lingkungan dan keuntungan? Seandainya pemerintah mau semua tidak akan menjadi sulit jika melihat tiga hal pokok berikut ini: pertama, aspek Pendapatan asli daerah (PAD). Pengelolaan secara langsung oleh rakyat tentunya nilai keuntungannya akan jauh lebih besar dibanding pengelolaan dilakukan perusahaan PT.Bumi Resources. Sebab regulasi pertambangan mineral hanya menyisihkan 10 persen pembagian hasil bukan keuntungan. Sementara poboya adalah konsesi pertambangan yang berada di empat kabupaten yakni Kabupaten donggala, kabupaten parigi, kabupaten sigi dan kota palu sendiri. Dapat diukur angka 10% dibagi empat kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat. Sangat sedikit hasil yang bisa diperoleh selain resiko kerusakan lingkungan yang jauh tak terkira dampaknya dari pertambangan rakyat. informasi tentang uang yang berputar di lokasi penambangan poboya sebesar Rp1, 5 M perharinya adalah angka yang fantastis dilihat sebagai potensi keuntungan yang lebih besar.
Kedua, Aspek Lingkungan. Pengelolaan pertambangan rakyat saat ini kelihatan tidak terkontrol dan sangat berpotensi tidak ramah lingkungan. Sebab pola pertambangannya dilakukan atas inisitaif dengan tingkat pengetahuan tehknis yang sangat terbatas. Belum lagi desakan modal pihak swasta kecil melakukan penetrasi modal yang menimbulkan eksploitasi secara besar-besaran dan tidak terkontrol. Namun semua itu bisa saja diminimalisir apabilah sanggup memberikan pengetahuan tehknis dan terlibat langsung dan pengawasan pengelolaan emas poboya. Jika dibandingkan dengan eksploitasi perusahaan besar, tingkat kerusakan yang ditimbulkan tentunya jauh lebih besar dilihat dari tingkat kemampuan produksi tehknologi yang dipergunakan. Belum lagi proses perubahan bentang alam dan pengelolaan limbah yang jumlahnya sangat besar, akan sulit diarahkan mengingat jarak tempuh antara lokasi tambang dengan kota palu.
ketiga, aspek Lapangan pekerjaan. Daya serap tenaga kerja dalam pertambangan model tromol yang sedang dikembangkan oleh rakyat jika dilihat dari partisifasi masyarakat jumlahnya sangat fantastis ada sekitar 600 orang dari pakava marawola barat yang terlibat langsung sebagai pekerja dengan pendapatan per hati rata-rata mencapai angka Rp.300.000,. tanpa melalui persyaratan formal model pertambangan ini mampu menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar . informasi kelurahan poboya ada sekitar 7000 orang yang ikut bekerja dalam proses pertambangan poboya. Jika dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja perusahaan tentunya akan sangat berbeda, persyaratan ijasah, dan pengalaman kerja menjadi hambatan terhadap partisipasi masyarakat sebagai pekerja. Bahkan pengurangan tenaga kerja sangat dimungkinkan oleh penggunaan tehknologi.

Melihat ini harusnya pemerintah mampu mendorong potensi ini sebagai jalan baru ekonomi. Aspek tehknis seperti penataan lingkungan hidup dan pengelolaan limbah harusnya dimajukan sebagai tanggung jawab bersama untuk diselesaikan. Tetapi yang terjadi klaim antara kemampuan model pengelolaan limbah versi perusahaan dan masyarakat diarahkan secara berlawanan. Padahal sudah kita pahami secara bersama bahwa tentu saja dengan keterbatasan pengetahuan dan modal pertambangan rakyat juga akan sangat mempengaruhi kualitas penanggulangan lingkungan. Ironisnya, Universitas tadulako yang berdiri tidak jauh dari lokasi penambangan tidak bisa diberdayakan secara baik untuk melihat polemic poboya sebagai kepekaan sosial dan bakti inteletualitas atas kemerdekaan rakyat dalam menentukan kepemilikan. Jika itu dilakukan yakin saja bahwa poboya bisa menjadi lokomotif kebangkitan ekonomi mandiri bangsa atas inisiatif dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan rakyatnya tanpa adanya praktek kesenjangan seperti yang terjadi saat ini. Keuntungan terus dirasakan para pemodal besar sementara rakyat terus diselimuti kemiskinan.

Pilkada Luwu Utara dan Pemburu Rente

Oleh: Andika

Masamba tanggal 15 September 2009

Kontestasi politik daerah kembali akan bergulir dikabupaten luwu utara. Momentum ini adalah agenda untuk memilih kepala daerah yang akan memimpin kabupaten Luwu Utara untuk periode 5 tahun kedepan. Bertolak dari pengalaman pilkada sebelumnya ada begitu banyak hal menarik untuk kemudian dipetik hikmahnya oleh masyarakat di Kabupaten Luwu utara.

Menguatnya kelompok kepentingan dalam memobilisasi kesadaran (Kelompok kepentingan yang dimaksud adalah para kontraktor dan pemburu rente ekonomi melalui agenda pembangunan daerah) pemilih melalui sejumlah pendekatan dan dasar dukungan yang sangat tradisional dan eksploitatif, telah menciptakan pengelompokan dukungan politik dan menciptakan pengkotak-kotakan masyarakat pada pilihan politik. Melihat kecenderungan ini ada tiga hal yang penting menarik untuk diperhatikan;

Pertama, aspek kepentingan pemburu rente ekonomi. Kelompok ini adalah para pengusaha atau biasa disebut tukang proyek. Mereka menggunakan kedekatan secara emosional berdasarkan pengelompokan dukungan politik untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi melalui sejumlah proyek infrastruktur dari pemerintah. Mereka memisahkan diri bahkan membentuk posko-posko dukungan. Tidak hanya itu, bahkan perpecahan sengaja dimobilisir sampai pada tingkatan pilihan-pilihan politik keluarga. Alhasil antar tetangga saling adu jagoan masing-masing, implikasinya bahkan sampai pada saling tuding, celah menjatuhkan dan lain-lain.

Kedua, aspek sosial ekonomi masyarakat Luwu Utara. Kehadiran Masamba sebagai ibukota telah menyeret beberapa desa menjadi kawasan perencaaan tata kota. Desa tersebut meliputi Desa Kasimbong, Kappuna dan Desa Baliase. Secara geografis desa ini merupakan kawasan mayoritas penduduknya memiliki latar belakang sebagai petani.

Dalam perkembangannya sawah-sawah yang menjadi areal pertanian mereka berubah menjadi hamparan bangunan dan tanah yang sebagian sudah tidak terjamah. Alasannya beragam, misalnya, di Desa Baliase hampir semua lahan pertanian berupa sawah sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Menurut sebagian petani yang sempat diwawancara penulis bahwa keadaan sawah yang tergantung terhadap kebutuhan air hujan. kini kondisi ini semakin menyulitkan mereka untuk mengolah sawah secara optimal. Selain karena mahalnya biaya produksi, ketiadaan irigasi atau saluran pengairan menjadi kendala utama. Para petani menjadi kesulitan untuk mengembangkan tanaman persawahan mereka karena tidak ada jaminan untuk keberhasilan tanaman pertanian mereka. Pilihan kerja alternatif yang mereka bisa jangkau agar tetap bisa bertahan hidup adalah menjadi tukang ojek. Pekerjaan ini kemudian berkembang pesat, hampir separuh pemuda dan masyarakat baliase melakukan aktifitas ini untuk bisa bertahan hidup.

Ketiga, kebijakan pemerintah kabupaten luwu utara sendiri yang masih sepenggal perjalanan dan belum menemukan bentuknya. Hal itu terlihat dari tidak adanya praktek pembangunan yang mengarah pada peningkatan kantong-kantong produksi serta penguatan ekonomi masyarakat. kebijakan hanya diarahkan pada pemenuhan target infrastruktur, itupun kelihatan mengejar pesanan para pihak ketiga sebagai relasi politik, seperti pembangunan jalan-jalan pada jalur tak padat penduduk misalnya, di beberapa kelurahan kawasan kota seperti pembanguan jalan lingkar, lorong-lorong dan beberapa drainase untuk proyeksi pemukiman kota adaftasi banjir. Padahal ketika dilihat sama sekali kawasan-kawasan ini jauh dari potensi banjir.

Ironisnya lagi arah kebijakan itu tidak pernah mengarah pada perhatian kantong-kantong produksi sebagai prasyarat terciptanya lapangan kerja secara meluas. Justru yang terjadi mobilisasi proyek infrastruktur tersebut kemudian telah melumpuhkan fungsi persawahan ditiga Desa yakni Pandak, Baliase (sekarang Kelurahan), Kasimbong (sekarang Kelurahan), dan Kappuna (sekarang Kelurahan) ( Lihat pembangunan jalan lingkar masamba). Ada program yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sosial ekonomi. Namun program ini bentuk intervensinya dilakukan secara karitatif dan tidak meluas misalnya, program kakao terbaik 2009. pencanangan program ini hanya dioptimalkan dibagian dinding kawasan Luwu Utara. Itu pun sampai saat ini satu tahun mendekati tahun puncak belum kelihatan hasilnya secara signifikan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesuai dengan tujuan awalnya.

Pilkada bagi rakyat

Kegamangan dalam pandangan politik adalah bukti kegagalan sejumlah alat atau partai-partai politik melakukan tranformasi pemahaman, ideology dan cita-cita politik kepada konstituennya. Hal ini terbukti dengan beberapa kali ritual politik dilakukan di kabupaten luwu utara. Masyarakat didatangi coba dikolompokkan ketika ada kepentingan seperti ;pilkada, pilcaleg, pilgub, maupun pilpres. Partisipasi poltiik mereka didistorsi oleh kepentingan yang berkutat didalamnya. Jauh sama sekali dalam lapangan kesadaran politik masyarakat, fanatisme yang hadir justru diwarnai antara kedekatan antara kontraktor dengan kandidat yang satu dengan lainnya. Biasanya latar belakang garis keluarga besar juga dipergunakan sebagai mobilisisasi pemilih dan dukungan. Sentiment ini biasanya sangat elitis karena pertarungannya hanya pada perang gengsi dan kedudukan.

Menerjemahkan proses pilkada diluwu utara kedepan penting juga melihat pengalaman proses politik di Negara ini. Misalnya, Seluruh proses pemilu lalu berlepotan dengan pelanggaran hukum, mulai dari urusan DPT yang meniadakan hak pilih jutaan rakyat Indonesia, sampai dengan pembelian suara (vote buying) yang dilakukan hampir semua caleg di seluruh Nusantara. Sebab bagaimana kita dapat menerima legalitas hasil pemilu legislatif lalu, kalau seluruh prosesnya sarat pelanggaran hukum? (Aditjondro 2009).

Melihat pada tarikan kepentingan antara peran para backing politik (para kontraktor) akan melahirkan kewaspadaan. Penggunaan sogokan politik dalam bentuk sumbangan, bantuan dan semacamnya kemungkinan akan menjadi salah satu alat meraih dukungan bagi setiap kandidat. Rakyat dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif mengalami kesulitan dalam transisi pembangunan ini tentunya akan mudah dimobilisasi dengan cara-cara seperti ini.

Padahal UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, di mana Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”. Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”. Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara enam dan 24 juta rupiah, menurut Pasal 270.

Penjelasan diatas adalah gambaran yang sudah terang membatasi setiap proses kecurangan. Tapi tetap saja kita temukan dalam lapangan praktek politik sejumlah pelanggaraan diberbagai daerah. Apalagi kurangnya sistem yang memadai untuk proses pendidikan politik akan sangat memungkinkan masyarakat disuguhi pada informasi yang sudah jadi. Hal itu jauh membahayakan kualitas pilkada dalam menentukan arah pemerintahan Luwu Utara lima tahun kedepan. Sebab masyarakat hampir tidak mengenal tujuan secara esensial dari pelaksanaan pilkada selain daripada pertarungan para elit politik yang ingin berkuasa. apalagi melihat fenomena backing politik dan kepentingannya, dimana yang bermain adalah para pemburu proyek (rente) memalsukan, mengasut, membobiilsasi pilihan politik adalah cara-cara lazim dilakukan. Dapat dibayangkan jika masyarakat tidak menyadari hal itu ditengah transisi perkembangan luwu utara, sekali lagi kita kan menjadi korban diatas permainan dan kerjasama perebutan kekuasaan elit.

Terakhir untuk masyarakat luwu utara menghadapi pilkada agar lebih cermat menentukan pilihannya. Jangan sampai dilibatkan pada konflik kepentingan yang sama sekali sebetulnya tidak menyentuh kepentingan dasarnya seperti yang sudah diuraikan diatas.


Rabu, 12 Agustus 2009

Syiar kegelisahan

Oleh: Andika Setiawan (17 juni 2009)


Perkakas tua itu telah melahirkan karat di sela-sela tubuhnya, dia hampir tak berdaya oleh balutan zat yang menyerang pertahanan terakhirnya. Bentuknya yang keras dahulu mengagumkan orang-orang, baginya mudah sekali rasa lupa itu menginap dikepala tuan-tuan sungguh tidak terbayangkan akhirnya proses penghancuran ternyata dimulai dari keroposnya tulang utama yang telah menahan beban produktifitasnya selama ini.

Berulang kali peminat dan pengagum terpuji mengganti warnanya, namun bentuk utuhnya tidak dirubah sedikitpun karena dia tidak bisa digantikan sedikitpun. Dia kekal dalam keangkuhannya, menelan partikel kecil yang terbang dan berkeliaran di sekelilingnya. Kadangkalah dia harus membagi sisa makanan bagi unsur lain, untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok kecil dominan yang telah menyimpan dendam jutaan tahun padanya.

Hidupnya telah berkuasa lama, jutaan kesenangan dan pujian mengalir bak sungai nil yang mengalir tak kenal musim. Namun, ambisinya, kekuasaannya menjadi dorongan pokok untuk bertahan, dia tidak rela membagi-bagikan bagian tubuhnya untuk dimakan partikel kurus, disudut matanya yang telah berubah jadi duri dan mengancamnya setiap waktu.

Saat subuh datang partikel kurus berkumpul banyak disudut matanya siap mencabik-cabiknya, dendam jutaan tahun itu telah menghapus pujian padanya yang ada tinggal kebencian dan kecaman, dia tersungkur layu jatuh bersama seluruh ambisinya.

"Mungkin Kita Perlu Melawan"

Masih menyisahkan segenggam harapan untuk membuatmu bernafas. Aku yakin besok tidak hanya harapanmu yang akan dia rampas, kehidupanmu pun akan di libasnya’’ ini aku berkata.
Dahulu aku mengingat rumah tua disamping kebun pak camat itu adalah sumber makanan anak-anak desa, kadang-kadang singkong yang tumbuh diselingi dengan buah pepaya pengganti makan malam bersama keluarga. Sayang, semua tanah yang luas itu sudah ditanami tembok, berbuah keluarga kota yang kemarin lulus seleksi PNS’.
Dahulu kondisi begini sudah digambarkan para kawan-kawan dalam tulisannya, mereka melihat anak-anak petani di sembeli cita-citanya. Orang tua mereka di pekerjakan gi gilda-gilda dengan upah sehari tenaganya tidak cukup untuk makan adik besok’.

Apakah kita selamanya begini? Aku yakin jika kau tidak melawan kau hanya akan mewarisi kemiskinan dan kemelaratan nenek moyangmu hingga bumi ini terbelah dua. Tapi melawan pun jika sendiri itu hanya akan membuatmu terjungkil dan terkisahkan, mungkin menurutku semua orang-orang desa harus diajak , terlebih dahulu kelompokan dirimu pada barisan tengah penghuni desa biar kamu tidak dibilang sok......!

Poboya: Potret Buram Pengelolaan Sumber Daya Alam


Media alkhairaat Selasa, 04 Agustus 2009

Oleh : Andika Setiawan
Kepala Divisi Advokasi dan kampanye WALHI Sulteng

Pertambangan Poboya adalah cerminan ekspansi kapitalisasi sektor sumber daya alam melalui keterikatan negara dalam kerjasama ekonomi berupa kontrak karya. Luas konsesi yang terdiri dari enam blok terpisah itu disebut-sebut merupakan cadangan potensial secara ekonomis dengan total cadangan 2 juta Ons. Kepemilikan kuasa ditangan PT. Citra Palu Mineral sebagai pemegang Kontrak Karya, anak perusahaan dari Perusahaan Trans Nasional Corperation, PT. Bumi Resources dengan Komposisi Kepemilikan saham 99,9 %. Dalam Laporan Kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007 PT. Bumi Resources merupakan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan perusahaan Borjuasi yang juga birokrat nasional PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%.

Kawasan tambang Poboya menjadi sorotan publik setelah dipicu reaksi atas aktivitas penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat Poboya dengan menggunakan mesin tromol. Banyak kalangan menilai bahwa aktivitas itu tidak terkontrol dan terorganisir dengan baik sehingga dikhawatirkan akan mencemari lingkungan hidup. Pilihan saat itu adalah tambang Poboya ditertibkan sampai ada resolusi yang menjawabnya.

Respon cepat dari pihak pemerintah kota palu adalah dengan mengeluarkan kebijakan penertiban penambang tromol. Kebijakan yang dikeluarkan tersebut berupa penertiban atas aktivitas tromol dengan sasaran utama para penambang yang nota bene adalah masyarakat asli Poboya, dengan dibantu tenaga teknis dan modal pembangunan tromol dari sejumlah cukong asal sulut dan gorontalo. Namun ternyata kebijakan itu tidak mampu menjawab apa yang menjadi masalah dasar ditingkatan masyarakat Poboya. Sebaliknya mengancam alternative utama pekerjaan masyarakat yang menggantikan pekerjaan mereka sebelumnya. Bisa dibayangkan, Ketika PT. Bumi Resource masuk maka ancaman penghilangan sumber kehidupan masyarakat Poboya bisa benar terjadi.

Kebijakan pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam telah dibangun semangatnya melalui UU 1945 Pasal 33 dengan tujuan utama penguasaan negara untuk kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat indonesia. Kenyataannya, UU No 11 tentang pokok pertambangan Tahun 1967 dan kemudian digantikan dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara menunjukkan hal yang sebaliknya dari semangat tersebut.

Hal ini dikarenakan, pertama Negara salah arah dalam menafsirkan hubungan negara dan masyarakat dalam era globalisasi. Sejak era orde baru pengelolaan sumber daya alam dimaknai dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar untuk tata kelola dan distribusinya. Akses sumber daya alam didekatkan pada kepentingan bilateral antar negara melalui sejumlah bentuk kerjasama bantuan Hibah Hutang maupun investasi bebas. Pintu liberalisasi pun dimulai sejak zaman itu di tandai dengan hadirnya kontrak karya generasi pertama.

Kedua, yang juga ikut melemahkan posisi negara menentukan kedaulatannya adalah hadirnya World trade Organisation (WTO), sebuah lembaga tempat berhimpunnya perusahaan Trans Nasional Corperation. Kebijakan WTO merupakan aplikasi dari sejumlah kesepakatan antar negara atau lebih banyak disebut sebagai pandangan neoliberalisme. Dimana setiap negara didorong untuk menyepakati liberalisasi dalam bentuk melepaskan pajak ekspor impor dalam kategori mineral, dan privatisasi sektor sumber daya alam secara luas.

Hubungan diluar negeri sering kali dijabarkan dalam bentuk kerjasama- bilateral antar dua negara. Baik dalam lapangan politik maupun dalam lapangan ekonomi. Sejak fase orde baru indonesia mulai memperkenalkan paham-paham kapitalisme dalam sejumlah icon kebijakan maupun slogan-slogannya seperti pembangunan. Indonesia sendiri merupakan negara yang terhitung masih muda dalam keterikatan terhadap pandangan kapitalisme.

Keadaan ini tidak dipahami pemerintah Republik Indonesia secara utuh dan terintegrasi dalam keputusan yang bersifat politis. Hal itu terbukti dengan lahirnya modernisasi yang berasal dari barat sehingga akan cenderung ke arah Westernisasi. Ini memiliki tekanan yang kuat dalam kebudayaan Indonesia, meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul ciri kebudayaan Barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Modernisasi yang masuk melalui change agents (Harison, 1988), akan cenderung kepada homogenisasi sistem ekonomi, sehingga akhirnya modernisasi, pembangunan, dan kapitalisme satu sama lain akan memiliki arti yang semakin konvergen.

Ketiga, Keterlibatan negara dalam kebijakan fiskal dan moneter dunia telah menempatkan kondisi perekonomian negara dalam ketergantungan terhadap sistem besar globalisasi. Ancaman krisis dan ketergantungan terhadap iklim investasi atas pertumbuhan ekonomi menempatkan bangsa ini menjadi kacung tanpa power atas wilayah kedaulatannya sendiri.

Semangat didalam kontrak karya sebagai legalitas pengelolaan sumber daya alam dalam negeri bersifat hubungan lex spesialis (Hubungan Hukum Istimewa) antara pemilik modal dengan negara, sebagai legitimasi pemilik kekayaan sumber daya alam menurut UU 1945 Pasal 33. Secara politik disinilah awal mula ketergantungan diciptakan. Dimana semangat kapitalis sangat dominan dalam menentukan ciri dan mode pengelolaan sumber daya alam.

Jika Negara bertanggungjawab pada kesejahteraan rakyat dengan menerapkan pasal 33 UUD 45 maka Venezuela bisa menjadi gambaran istimewa kebijakan pengambilalihan kekayaan alam dari kuasa pemilik modal trans nasional. Indonesia bisa mengambil arah kebijakan ini melalui sejumlah pendekatan seperti divestasi, peninjauan dan nasionalisasi bagi untung atas hasil kekayaan alam. Untuk niat ini, sesungguhnya memang dibutuhkan power politik dan dukungan secara politik yang kuat dari rakyat indonesia sebagaimana yang telah dilakukan di Venezuela dan Iran. Itu dibuktikan dari usaha-usaha sejumlah negara yang ingin bernegosiasi atas pembagian hasil kekayaan alam yang selama ini hasilnya tidak dirasakan oleh negara dan rakyatnya seperti Venesuela dan Iran.

Pilihan kebijakan yang demikian bisa menjadikan Poboya sebagai kekuatan kebangkitan dan pengambilalihan kekayaan alam oleh rakyat di Sulawesi Tengah. Apalagi jika dilakukan melalui power politik kepala daerah sesuai Kepentingan otonomi, kedaulatan untuk mendorong Nasionalisasi atau paling tidak pembagian hasil secara adil dalam dimensi hulu-hilir 50 % total penghasilan produksi. Hal itu penting mengingat saat ini penguasaan sumber-sumber bahan baku menjadi agenda pokok dibeberapa Negara industrialisasi besar, selain pada upaya perluasan modal uang pada sektor industri strategis seperti pertambangan. Untuk itu, negara harus melihat ini sebagai sebuah pijakan posisi yang populis untuk menempatkan sumber daya alam negeri sebagai poin menuju kesejahteraan, dengan jalan panguasaan agar tidak terjebak kepentingan akumulasi yang konvergen dari pemilik modal trans nasional. Sehingga cita-cita mensejahterakan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam bisa terwujud, tidak hanya slogan semata.