Senin, 14 September 2009

Pilkada Luwu Utara dan Pemburu Rente

Oleh: Andika

Masamba tanggal 15 September 2009

Kontestasi politik daerah kembali akan bergulir dikabupaten luwu utara. Momentum ini adalah agenda untuk memilih kepala daerah yang akan memimpin kabupaten Luwu Utara untuk periode 5 tahun kedepan. Bertolak dari pengalaman pilkada sebelumnya ada begitu banyak hal menarik untuk kemudian dipetik hikmahnya oleh masyarakat di Kabupaten Luwu utara.

Menguatnya kelompok kepentingan dalam memobilisasi kesadaran (Kelompok kepentingan yang dimaksud adalah para kontraktor dan pemburu rente ekonomi melalui agenda pembangunan daerah) pemilih melalui sejumlah pendekatan dan dasar dukungan yang sangat tradisional dan eksploitatif, telah menciptakan pengelompokan dukungan politik dan menciptakan pengkotak-kotakan masyarakat pada pilihan politik. Melihat kecenderungan ini ada tiga hal yang penting menarik untuk diperhatikan;

Pertama, aspek kepentingan pemburu rente ekonomi. Kelompok ini adalah para pengusaha atau biasa disebut tukang proyek. Mereka menggunakan kedekatan secara emosional berdasarkan pengelompokan dukungan politik untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi melalui sejumlah proyek infrastruktur dari pemerintah. Mereka memisahkan diri bahkan membentuk posko-posko dukungan. Tidak hanya itu, bahkan perpecahan sengaja dimobilisir sampai pada tingkatan pilihan-pilihan politik keluarga. Alhasil antar tetangga saling adu jagoan masing-masing, implikasinya bahkan sampai pada saling tuding, celah menjatuhkan dan lain-lain.

Kedua, aspek sosial ekonomi masyarakat Luwu Utara. Kehadiran Masamba sebagai ibukota telah menyeret beberapa desa menjadi kawasan perencaaan tata kota. Desa tersebut meliputi Desa Kasimbong, Kappuna dan Desa Baliase. Secara geografis desa ini merupakan kawasan mayoritas penduduknya memiliki latar belakang sebagai petani.

Dalam perkembangannya sawah-sawah yang menjadi areal pertanian mereka berubah menjadi hamparan bangunan dan tanah yang sebagian sudah tidak terjamah. Alasannya beragam, misalnya, di Desa Baliase hampir semua lahan pertanian berupa sawah sudah ditinggalkan oleh pemiliknya. Menurut sebagian petani yang sempat diwawancara penulis bahwa keadaan sawah yang tergantung terhadap kebutuhan air hujan. kini kondisi ini semakin menyulitkan mereka untuk mengolah sawah secara optimal. Selain karena mahalnya biaya produksi, ketiadaan irigasi atau saluran pengairan menjadi kendala utama. Para petani menjadi kesulitan untuk mengembangkan tanaman persawahan mereka karena tidak ada jaminan untuk keberhasilan tanaman pertanian mereka. Pilihan kerja alternatif yang mereka bisa jangkau agar tetap bisa bertahan hidup adalah menjadi tukang ojek. Pekerjaan ini kemudian berkembang pesat, hampir separuh pemuda dan masyarakat baliase melakukan aktifitas ini untuk bisa bertahan hidup.

Ketiga, kebijakan pemerintah kabupaten luwu utara sendiri yang masih sepenggal perjalanan dan belum menemukan bentuknya. Hal itu terlihat dari tidak adanya praktek pembangunan yang mengarah pada peningkatan kantong-kantong produksi serta penguatan ekonomi masyarakat. kebijakan hanya diarahkan pada pemenuhan target infrastruktur, itupun kelihatan mengejar pesanan para pihak ketiga sebagai relasi politik, seperti pembangunan jalan-jalan pada jalur tak padat penduduk misalnya, di beberapa kelurahan kawasan kota seperti pembanguan jalan lingkar, lorong-lorong dan beberapa drainase untuk proyeksi pemukiman kota adaftasi banjir. Padahal ketika dilihat sama sekali kawasan-kawasan ini jauh dari potensi banjir.

Ironisnya lagi arah kebijakan itu tidak pernah mengarah pada perhatian kantong-kantong produksi sebagai prasyarat terciptanya lapangan kerja secara meluas. Justru yang terjadi mobilisasi proyek infrastruktur tersebut kemudian telah melumpuhkan fungsi persawahan ditiga Desa yakni Pandak, Baliase (sekarang Kelurahan), Kasimbong (sekarang Kelurahan), dan Kappuna (sekarang Kelurahan) ( Lihat pembangunan jalan lingkar masamba). Ada program yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sosial ekonomi. Namun program ini bentuk intervensinya dilakukan secara karitatif dan tidak meluas misalnya, program kakao terbaik 2009. pencanangan program ini hanya dioptimalkan dibagian dinding kawasan Luwu Utara. Itu pun sampai saat ini satu tahun mendekati tahun puncak belum kelihatan hasilnya secara signifikan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesuai dengan tujuan awalnya.

Pilkada bagi rakyat

Kegamangan dalam pandangan politik adalah bukti kegagalan sejumlah alat atau partai-partai politik melakukan tranformasi pemahaman, ideology dan cita-cita politik kepada konstituennya. Hal ini terbukti dengan beberapa kali ritual politik dilakukan di kabupaten luwu utara. Masyarakat didatangi coba dikolompokkan ketika ada kepentingan seperti ;pilkada, pilcaleg, pilgub, maupun pilpres. Partisipasi poltiik mereka didistorsi oleh kepentingan yang berkutat didalamnya. Jauh sama sekali dalam lapangan kesadaran politik masyarakat, fanatisme yang hadir justru diwarnai antara kedekatan antara kontraktor dengan kandidat yang satu dengan lainnya. Biasanya latar belakang garis keluarga besar juga dipergunakan sebagai mobilisisasi pemilih dan dukungan. Sentiment ini biasanya sangat elitis karena pertarungannya hanya pada perang gengsi dan kedudukan.

Menerjemahkan proses pilkada diluwu utara kedepan penting juga melihat pengalaman proses politik di Negara ini. Misalnya, Seluruh proses pemilu lalu berlepotan dengan pelanggaran hukum, mulai dari urusan DPT yang meniadakan hak pilih jutaan rakyat Indonesia, sampai dengan pembelian suara (vote buying) yang dilakukan hampir semua caleg di seluruh Nusantara. Sebab bagaimana kita dapat menerima legalitas hasil pemilu legislatif lalu, kalau seluruh prosesnya sarat pelanggaran hukum? (Aditjondro 2009).

Melihat pada tarikan kepentingan antara peran para backing politik (para kontraktor) akan melahirkan kewaspadaan. Penggunaan sogokan politik dalam bentuk sumbangan, bantuan dan semacamnya kemungkinan akan menjadi salah satu alat meraih dukungan bagi setiap kandidat. Rakyat dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif mengalami kesulitan dalam transisi pembangunan ini tentunya akan mudah dimobilisasi dengan cara-cara seperti ini.

Padahal UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, di mana Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”. Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”. Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara enam dan 24 juta rupiah, menurut Pasal 270.

Penjelasan diatas adalah gambaran yang sudah terang membatasi setiap proses kecurangan. Tapi tetap saja kita temukan dalam lapangan praktek politik sejumlah pelanggaraan diberbagai daerah. Apalagi kurangnya sistem yang memadai untuk proses pendidikan politik akan sangat memungkinkan masyarakat disuguhi pada informasi yang sudah jadi. Hal itu jauh membahayakan kualitas pilkada dalam menentukan arah pemerintahan Luwu Utara lima tahun kedepan. Sebab masyarakat hampir tidak mengenal tujuan secara esensial dari pelaksanaan pilkada selain daripada pertarungan para elit politik yang ingin berkuasa. apalagi melihat fenomena backing politik dan kepentingannya, dimana yang bermain adalah para pemburu proyek (rente) memalsukan, mengasut, membobiilsasi pilihan politik adalah cara-cara lazim dilakukan. Dapat dibayangkan jika masyarakat tidak menyadari hal itu ditengah transisi perkembangan luwu utara, sekali lagi kita kan menjadi korban diatas permainan dan kerjasama perebutan kekuasaan elit.

Terakhir untuk masyarakat luwu utara menghadapi pilkada agar lebih cermat menentukan pilihannya. Jangan sampai dilibatkan pada konflik kepentingan yang sama sekali sebetulnya tidak menyentuh kepentingan dasarnya seperti yang sudah diuraikan diatas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar